Tujuan wisata adalah sarana rekreasi dan hiburan. Memang tak semua harus sesuai dengan harapan subyektif masing-masing orang. Namun apa jadinya jika "oknum" tempat wisata mempermainkan kita? Tentu akan sangat menyebalkan dan membuat kapok.
Beberapa hari lalu, netizen ramai membahas kejadian viral penjual yang "nuthuk" di Yogyakarta. Ada pro dan kontra dalam masalah ini. Bahkan masalah ini melebar kemana-mana.
Kejadian "nuthuk" dimana penjual memberi harga yang tak wajar untuk makanan bukanlah hal yang baru. Dulu sekali, saya pun pernah mengalami. Pastinya saya juga kesal dan akhirnya kapok untuk membeli lagi.
Namun, di samping harga "nuthuk" ada hal lain yang membuat jengkel wisatawan saat mengunjungi tempat wisata. Berikut catatan saya:
1. Pungutan liar
Suatu kali saya jalan-jalan ke suatu kawasan wisata yang "instagramabel". Namanya penasaran, saya pun menuju kesana karena kebetulan lokasinya tak jauh dari tujuan wisata saya saat itu.
Berbekal google maps, saya berangkat menuju ke tempat itu. Seperti biasa, google maps menunjukkan arah yang unik (kalau tak ingin dikatakan ngawur). Jadi, kami harus melewati persawahan dan kampung-kampung.
"Duh, kok jauh sekali ya?" Saya mulai cemas. "Pulang aja yuk! Paling ya begitu saja, " kata saya merajuk. Suami tetap sabar. "Sudahlah, kita coba dulu. Mumpung disini, belum tentu kita bisa kesini lagi, " katanya.
Akhirnya saya pasrah. Tak lama dari itu, di tengah jalan dimana tak ada rumah dan apapun, tiba-tiba muncul seorang pemuda.
"Sepuluh ribu, Pak!" katanya. Suami pun memberikan uang yang kami pikir adalah retribusi masuk. Suami pun bertanya apakah sudah dekat tempat tujuan kami. Pemuda itu pun menjawab cepat dan terburu. "Bapak, lurus saja ya!"
Dalam hati saya, wah murah juga cuma sepuluh ribu berempat. Kami pun mengikuti petunjuk pemuda tadi. Dan ternyata tempatnya masih jauh.
Sampai di tempat tujuan (yang ternyata pintu belakang), kami "disambut" oleh bapak-bapak. Bapak ini menyebut angka rupiah juga. Hmmm... saya langsung tahu kalau kami sudah kena "pungli" sama pemuda yang di jalan tadi.
Tanpa curiga, suami langsung memberikan uang tanpa ada karcis tanda masuk. Lagi-lagi kami berpikir ini bapak ini memungut retribusi masuk. "Mungkin tempat wisata baru dan belum dikelola profesional, " begitu batin saya. Ya sudahlah.
Kami masuk berjalan-jalan dan kagum dengan perbukitan kapur. Bahkan sempat berhenti untuk berfoto-ria. Setelah itu kami menuju ke tempat wisata utamanya.
Begitu kami parkir, langsung datang bapak-bapak yang lain lagi. Bapak ini meminta uang parkir dan uang masuk yang lumayan juga jumlahnya. Duh, pusing saya, petugas tiketnya banyak amat! Hadeehh...
Suami saya tetap ramah dan memberi uang. Bapak ini juga baik sebenarnya. Kami juga ngobrol dan beliau juga menunjukkan spot mana yang bagus untuk foto.
Usai dari situ, kami menuju spot bagus di sampingnya. Namun, karena agak jauh kami pun naik mobil sekalian pulang. Dan ternyata untuk masuk kawasan ini ada gerbang dan loket tiket masuk yang resmi. Gubraakkk...!!!
Jadi, kata petugas loket kami ini salah jalan dan lewat belakang. Akhirnya kami membayar tiket masuk dan parkir mobil lagi. Kali ini yang resmi. Hmmm...
Saya sedikit ngedumel. Namun seperti biasa, suami selalu bilang, "Sudah nggak usah dipikirin. Kalau dibuat kesal ya kamu nggak bisa nikmati jalan-jalan, " Oke, baiklah.
Saya tak jadi kesal. Anak-anak juga senang. Bapak yang di parkir sebelumnya mengikuti kami. Entah, mungkin merasa tak enak. Akhirnya kami minta tolong padanya mengambilkan beberapa foto (dengan memberi uang jasa meskipun tidak diminta). Hasilnya juga bagus.
Belajar dari kasus ini, sebenarnya pungutan liar (pungli) ini sangat menyebalkan. Mereka seolah tahu titik di mana wisatawan yang baru datang pertama kali dan tidak tahu arah akan masuk pada jebakan.
Ada yang mengatakan "itung-itung bagi rejeki". Ya tidak apa juga. Tapi bukankah sebaiknya ditertibkan juga?Â
Masyarakat perlu diedukasi untuk memanfaatkan lokasi wisata sebagai sumber penghasilan secara benar. Bisa dengan menjual hasil kerajinan kreatif, makanan, minuman, dan lain-lain daripada melakukan pungutan liar.
2. Parkir tak sesuai karcis
Biaya parkir memang tak seberapa mahal. Akan tetapi apa jadinya jika angka yang tertera di karcis dan yang ada di daftar tarif menjadi dua kalinya? Tentu wisatawan akan kaget dan menjadi ilfeel.
Pernah suatu hari, saya ke tempat wisata dimana terdapat papan tarif harga tiket masuk dan biaya parkir. Namun begitu di tempat parkir, petugas langsung meminta uang parkir yang tidak sesuai karcis.
Seperti biasa, sesuai saran suami tak usah meributkan hal kecil supaya hati tetap senang saat wisata, saya pun berusaha santai. Tapi saya tetap berpikir jika seperti itu, orang akan malas berkunjung.
Nilai uang memang bukan yang "wow" , tapi justru dari hal kecil inilah seharusnya pemerintah dan pengelola wisata memperhatikan. Kesan pertama itu menentukan kesan selanjutnya dari pengunjung dan wisatawan.
3. Taksi yang menipu
Ketidaktahuan wisatawan seringkali dimanfaatkan oleh "oknum" seperti pengemudi taksi. Penumpang diajak berputar-putar supaya membayar tarif yang mahal. Atau ada juga taksi tanpa argometer yang memberi tarif tinggi padahal jarak tempuh sangat dekat.
Kejadian ini tak hanya terjadi di Indonesia. Pernah saya alami ketika berkunjung di negara lain. Tentu saja ini akibat ulah "oknum" padahal teman sesama sopir taksi malah sangat membantu. Bahkan aturan di negara tersebut juga tidak membolehkan seperti itu.
Dari ketiga hal di atas, bagi saya pribadi memberikan pengalaman dan pelajaran berharga. Wisata menjadi kurang nyaman dan jika kita tidak berusaha sabar akan menguras emosi.
Sebenarnya tak masalah ada retribusi masuk atau parkir yang memberdayakan pemuda dari karang taruna. Yang penting tarif dan harga masuk akal dan tidak mengada-ada.
Saya sendiri berusaha untuk tidak membesar-besarkan masalah. Apalagi ketika mengajak anak-anak dan keluarga. Rasa kesal dan dongkol akan melenyapkan keceriaan liburan. Liburan menjadi tidak menyenangkan dong?
Karenanya, saya anggap saja sebagai "kerikil" di jalan. Liburan harus tetap berlanjut hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H