Diiringi alunan musik lembut, dia membuka pembicaraan. "Beb, kulihat keluarga di Bandung nggak terlalu suka juga dengan kwetiau goreng. Kok kamu bisa gila sama kwetiau goreng sih?"
"Ya ampun... itu lagi dibahas? Namanya suka ya suka aja lah... Mama memang nggak suka. Dia lebih sering memasak masakan Sunda, " sahutku.
"Terus kok kamu suka? Gimana ceritanya?" tanyanya. Aku menarik nafas panjang.
"Kamu penasaran banget? Jangan-jangan kamu mulai jatuh cinta juga ya? Hahaha " jawabku sekenanya.
"Bukan. Aku tuh sebenarnya nggak masalah. Cuma heran kok bisa bertahun-tahun orang bisa suka makanan sampai segitunya. Apalagi sekarang sudah banyak makanan korea, jepang, atau apalah, " sahutnya.
"Lha selera itu nggak bisa dipaksa. Suka drakor kan nggak harus suka makanan korea!" jawabku mempertahankan pendapatku. Suamiku mulai sedikit berubah air mukanya.
"Aku juga heran, semua kwetiau goreng kamu suka. Mau yang disana-sini... Ala Pontianak, ala Jawa, ala Penang... Semua enak dan enak banget di lidahmu!" timpalnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aku tersenyum karena memang benar adanya. "Ya namanya suka, samalah dengan orang yang suka petai atau jengkol. Kalau ditanya ya suka aja. Mau disambel, direndang, digulai, diapakan saja ya demen kalau memang hobi!"
Mungkin jawabanku tidak memuaskan. Dia bergumam. "Atauuuu... sebenarnya itu gara-gara mantanmu yang oriental itu? Ah, tahulah aku!" katanya dengan semburat cemburu. Aku terkejut mendengarnya. Segera saja kusahuti komentar ngawurnya.
"Ya nggak lah... nggak usah cemburu gitu? Hmm... kamu bener ingin tahu mengapa aku suka kwetiau goreng?" tanyaku lembut. Aku tahu dia sudah mulai naik emosinya. Tak disahuti pertanyaanku.
"Oke, akan kuceritakan mengapa aku bisa suka banget dengan kwetiau, " kataku memulai penjelasan.