Dia heran mengapa tiap kali pergi keluar untuk makan, aku selalu memesan kwetiau goreng.
"Emang nggak ada menu yang kamu suka selain itu? Ayolah, pesan yang lain!" katanya. Dia adalah suamiku. Terkadang dia mengatakan dengan lembut dan baik, namun tak jarang dia sewot.
Kesewotan akan terjadi ketika aku memesannya kala liburan di luar negeri. Dia mungkin kesal melihatku begitu antusias saat menemukan penjual kwetiau goreng yang enak di jalan.
"Mbok ya udah, cari makanan khas sini saja? Kwetiau dimana-mana ya sama! Nggak jauh bedalah..." katanya waktu itu.
Aku memang keras kepala. Melihat kwetiau di negeri orang justru semakin membuatku penasaran. Lain "tangan" tentu lain rasa. Beda daerah pastilah beda "gaya". Suamiku semakin pusing dengan tingkahku.
"Aduh, kamu ini benar-benar terobsesi! Jangan-jangan kamu sudah kelainan?!" katanya kepadaku. Sepertinya dia sudah kewalahan dengan "hobi"ku. Tapi aku bersyukur dia tetap sabar dan mau menungguku menghabiskan sepiring makanan surgaku itu.
"Aku sebenarnya senang melihatmu makan kwetiau. Aku pun jadi suka. Tapi sekali-kali gantilah menu dan seleramu, " pintanya padaku.
Entahlah, mungkin benar ada "kelainan" seperti yang dia bilang. Tapi harusnya dia bersyukur karena harga sepiring kwetiau ini lebih murah dibanding harga makanan di restoran yang sebenarnya hanya untuk sebuah gengsi.
Lama-lama suamiku sudah maklum dengan kebiasaanku. Sesekali masih protes, namun tak segencar biasanya.
"Biar cepat kaya, makannya kwetiau goreng aja ya? Sepiring berdua lagi, " candanya padaku. Akupun tertawa.
Sampai akhirnya, ketika aku dan dia pergi berdua terjadilah diskusi itu. Di sebuah restoran besar di tepi pantai. Sebenarnya kami napak tilas kali pertama berkencan.