Dear Diary,
Membuka dan menutup lembar hari itu seperti membuka lembar kertas ujian di ruang kuliah. Pagi-pagi penuh semangat, namun kadang juga resah mengingat soal apa lagi yang harus diselesaikan. Sorenya, seringkali menghirup wangi teh di teras rumah. Dan malamnya menutup semuanya dengan doa.
Hidup tak ubahnya serangkaian ujian yang panjang. Ada kalanya soal ujiannya mudah. Namun tak jarang sesekali soal ujiannya rumit. Katanya harus sering berlatih supaya mahir. Aku setuju.Â
Latihan membuat kita lebih siap untuk menghadapi setiap ujian. Akan tetapi, bukankah kita ini manusia yang gampang bosan?
Aku seringkali bosan dan lelah mengerjakan hal yang sama. Ibaratnya, tiap hari aku harus berlatih 10 kali 10 itu 100. Huh... sudah bisa kenapa harus diulang? Mengapa aku harus menghitung satu per satu hingga mencapai 100?
Tahukah ujian hidup yang menyebalkan ini? Ya, ujian kesabaran. Sampai kapan harus sabar? Jawabannya : SABAR. Terkadang aku tetap berusaha sabar. Akan tetapi sesekali aku terpaksa menggerutu juga. Ah, manusiawi!
Hari ini wifi susah sekali. Tak biasanya. Aku kesal. Sudah selesai baca artikel, eh ngadat tidak bisa vote. Dari pagi seperti itu. Bolak-balik telpon juga putus-putus nggak jelas. Sabarrrrr ...
Setelah itu, si bungsu merengek minta jalan-jalan. Dia menangis meraung-raung. Dibilangin baik-baik tak mempan. Dirayu untuk makan di luar tidak mau. Aku tahu dia lelah dan bosan di rumah. Jadilah aku harus sabar hingga dia tertidur.
Kadang aku bertanya-tanya, "sampai kapan harus sabar?" Tapi jadi teringat kata nenek : "Sinau sabar kuwi sak jroning urip" artinya belajar sabar itu seumur hidup. Hmmm... baiklah!
Lepas dari drama si bungsu, aku bebas mengerjakan tugas rumah tangga. Namun, begitu balik ke kamar, kulihat lemari pakaian terbuka. Baju-baju dalam tumpukan tak beraturan. Whattt????
"Kakak, tadi ambil baju berantakin?" tanyaku pada si Sulung.
"Nggak, Ma!" sahutnya.
Ekor mataku menunjuk pada keranjang putih yang terletak tak jauh dari lemari. Kosong. Padahal baru tadi pagi, aku mengambil dari ruang setrika. Aku mencium ada yang tak beres.
"Mamaaa..." teriak si kecil masuk ke kamar. Aku menoleh dan tersenyum.
"Ka, tadi kakak ambil baju-baju disini?" tanyaku pada si Sulung sambil menunjuk keranjang putih.
"Nggak, Ma..." sahutnya.
Tiba-tiba si bungsu tersenyum. Aku langsung bertanya halus padanya, "Tadi, Adek yang masuk-masukin baju kesini?"
"Iya, Adek bantu Mama, "sahutnya bangga.
"Ohhhhh...." kataku dan si Sulung hampir bersamaan.
Si Sulung tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan aku tertawa kecut. Di satu sisi, aku bangga Si Bungsu tahu membantu mamanya (tentu dengan caranya dia).
Namun, kubayangkan hasil setrikaan segitu banyak dimasuk-masukkan dengan berjejal di lemari! Dan aku harus merapikan satu per satu. Kutarik nafas panjang. Hmmmm.... Sabar... Sabar... Sabar...
Kasih itu Sabar!Â
Cikarang, 17 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H