Liburan bukan saja tentang keceriaan. Seringkali ada cerita sedih, kesal, dan konyol. Tatkala kita bisa menerima dan menikmati semuanya, tentu akan menjadi pengalaman berharga.
Travelling is about experience. Ya, perjalanan dan liburan membuat kita kaya akan pengalaman rasa. Setiap tempat akan memberi rasa yang berbeda. Tempat bisa kita tinggalkan, namun jejak rasa akan selalu mengikuti kita.
Berikut adalah rupa-rupa cerita ketika saya berfoto di tempat umum yang saya kunjungi :
Diteriaki dan dimarahi orang
Di awal pernikahan, saya mengikuti suami yang bekerja di salah satu negara di Afrika Barat. Kira-kira seminggu setelah tiba disana, kami berjalan-jalan melihat keadaan sekitar bersama sopir dari kantor.
Namanya juga tempat baru, saya ingin berfoto untuk dikirim ke keluarga. Minimal mengabarkan bahwa disana saya baik-baik saja. Kami berhenti di sebuah bangunan yang menurut saya menarik. Saya meminta suami untuk mengambil foto.
Waktu itu tak ada orang di trotoar tempat saya berfoto. Aman deh, pikir saya. Namun, tiba-tiba kami dikagetkan suara dari seberang. Suara teriakan kencang seorang perempuan.
"Hey, you! Stop taking picture! I want to pass!" teriaknya marah dan mengomel. Galak banget!
Kami spontan menoleh. Saya bengong. "Beginikah? Oh my God..." batin saya. Suami menurunkan kamera. Perempuan itu kemudian melangkah dan menyeberang jalan menuju ke arah kami. Mukanya jutek sekali. Kami diam saja.
Sampai di mobil, kami bertanya kepada sopir mengapa seperti itu. Menurut sopir kami, mereka tidak mau menjadi objek foto. Duh, padahal kami tidak memotretnya.
Dalam hati, saya kesal kok segitunya? Kalau ada orang sedang berfoto, mengapa tak menunggu barang sebentar untuk lewat? Mengapa dia seenaknya menyuruh orang berhenti berfoto hanya supaya dia lewat. Sikap yang melebihi presiden. Pokoknya saya gondok sekali.
Sejak itu saya tak pernah memotret apapun selama disana, terutama di tempat umum. Kapok diteriakin!
Dicurigai akan membawa kabur kamera
Cerita yang bikin keki ini terjadi saat saya dan suami liburan di Dubai. Malam itu kami jalan-jalan ke Burj Kalifa. Waktu itu Burj Kalifa ini baru saja selesai dibangun, namun masih belum terpakai. Masih banyak pekerja untuk finishing.
Melihat Burj Kalifa yang menjulang, tentu membuat kami takjub. Karenanya, kami ingin berfoto untuk sekedar kenangan. Waktu itu suami meminta tolong kepada sesama turis pengunjung. Kebetulan ada turis dari Asia.
Dengan baik, lelaki yang kami minta tolong itu memfoto kami. Setelah itu, suami menawarkan untuk gantian mengambilkan gambar mereka. Tak disangka, laki-laki ini bukan saja menolak tapi dengan gestur seolah takut kalau kamera berada di tangan akan diambil atau dilarikan. Mukanya mencerminkan ketakutan. "No.. no.. no.." ucapnya terburu-buru pamit pergi.
Kami pun tersenyum kecut. Mungkinkah wajah kami ini wajah yang mencurigakan? Namun, pada akhirnya kami berdua tertawa karena setelah kami perhatikan kamera orang tersebut sangat jadul dan ketinggalan jaman. Ah, sudahlah...
Semua barang saya disingkirkan
Kejadian ini saat kami di Merlion Park, Singapura. Kala itu saya membawa stroler dan tas barang. Tiba-tiba seorang perempuan muda mendorong stroller tersebut ke pinggir. Saya pun disuruh minggir. Melihat tingkahnya yang seolah mengatur itu, saya kebingungan apa maksudnya.
Sepertinya perempuan itu tidak terlalu fasih berbahasa inggris. Sama seperti saya hehe.. Yang saya dengar dia hanya menggumam tak jelas sambil menyingkir-nyingkirkan barang dan menyuruh orang menepi.
Setelah itu dia menuju ke tempat di ujung. Ternyata ingin berfoto! Saya pun tepuk jidat. Segitunya ingin berfoto, semua orang disuruh minggir.
Lucunya, berhubung sore itu ramai pengunjung, dia akhirnya menyerah. Mana bisa mengatur semua orang supaya dia dapat berfoto sesuai keinginannya? Foto ya foto saja, namanya tempat umum hehe...
Etika berfoto saat liburan
Berfoto saat liburan adalah sah-sah saja. Namun sebaiknya tetap perhatikan etika supaya tercipta kenyamanan dengan sesama.
Perhatikan antrian yang ada
Masa sekarang, ada banyak spot yang instagramabel dan memang spot wajib untuk berfoto. Seyogyanya, perhatikan antrian atau orang yang menunggu kita untuk berfoto.
Jika antrian panjang, tentu tak elok jika kita berlama-lama dan bergonta-ganti gaya seolah milik sendiri. Bagaimanapun kita harus menenggang rasa dengan sesama pengunjung.
Saya sering menemui, orang yang setelah berfoto justru tak beranjak dari tempat tersebut. Namun malah sibuk sendiri mengamati hasil fotonya atau mungkin justru posting di media sosialnya. Pastinya, hal kecil begini membuat orang kesal.
Tawarkan bantuan
Tatkala kita meminta bantuan orang lain untuk memotret kita, tak ada salahnya untuk menawarkan bantuan untuk memotret balik mereka. Selain sebagai rasa terimakasih, budaya saling membantu ini juga baik untuk diterapkan. Bisa juga menjadi contoh kecil untuk anak-anak akan pentingnya mengucapkan "tolong" dan "terimakasih".
Hargai hasil jepretan orang
Pernah suatu kali saya mengambil foto untuk orang lain. Setelah saya kembalikan handphonenya, alih-alih berterimakasih, yang bersangkutan sibuk melihat hasil jepretan saya dengan serius. Dari raut wajahnya, seolah tak puas dengan hasil jepretan saya.
Memang setiap orang punya selera masing-masing, namun ketika kita minta tolong sebaiknya hargai apapun hasilnya. Herannya lagi, setelah itu yang bersangkutan langsung ngeloyor pergi. Padahal saya sebenarnya ingin meminta bantuannya juga untuk memotret balik kami.
Setiap kali saya membantu orang memotret, saya selalu tulus dan tanpa terpaksa. Karenanya, sudah selayaknya ketika kita dibantu kemudian balik membantu dengan tulus dan tidak bersungut-sungut.
Hal yang tak kalah penting dari masalah berfoto dan etikanya adalah selalu menebar senyuman. Energi baik akan selalu menular dan tentu akan kembali dengan energi yang baik. Liburan akan penuh kesan jika penuh senyuman.
Salam hangat,
MomAbel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H