Bagi kompasianer, tentu tak asing dengan Tjiptadinata Effendi. Beliau adalah sosok inspiratif yang sangat humble dan konsisten. Humble karena ramah menyapa dan singgah ke artikel sesama kompasianer, untuk newbie sekalipun.
Saya masih ingat bagaimana senang hati saya ketika pak Tjipta memberi vote dan komentar pada artikel saya. Luar biasa, ada seorang maestro yang baik ramah dan baik hati menyapa di artikel saya yang bisa dibilang biasa saja bahkan abal-abal.
Sejalan dengan waktu, saya sungguh mengagumi kekonsistenan pak Tjipta dalam menulis. Tiap hari selalu ada artikel baru yang berarti cerita dan pengalaman baru. Semua artikelnya "bergizi".
Pernah suatu kali saya katakan lewat komentar di artikel pak Tjipta bahwa jika saya bisa vote lebih dari satu kali, saya akan vote : aktual, menarik, bermanfaat, dan inspiratif. Ini bukan pujian basa-basi, silahkan tengok artikel-artikel beliau di Kompasiana.
Mengenai kekonsistenan dalam menulis, tak perlu diragukan lagi. Saya termasuk kompasianer yang datang dan pergi, meskipun selalu kembali hehe... Dan tiap kali saya kembali, pak Tjipta masih tetap setia, ada, dan menyapa. Sungguh, ini sebuah teladan yang luar biasa. Sebagai orang muda, saya malu dan sekaligus bangga.
Ibu Roselina Hadir Melengkapi di Kompasiana
Dalam artikelnya, pak Tjipta sering bercerita tentang sosok istri tercinta, Ibu Roselina. Kadang saya dibuat penasaran seperti apa ibu Rose yang sangat dikasihinya itu. Seingat saya, bu Rose dulu jarang menulis kemudian akhirnya aktif dan konsisten seperti pak Tjipta.
Saya selalu suka cerita seri pengalaman hidup yang beliau tuliskan. Tulisan tersebut sangat menginspirasi saya dalam menjalani hidup. Lima puluh enam tahun usia pernikahan, tentu bu Rose sudah teruji menghadapi berbagai pernik kehidupan dari yang kecil hingga besar.
Sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati. Mungkin ini ungkapan yang tepat ketika saya membaca artikel-artikel bu Rose. Terkadang sebuah cerita sederhana namun mengena di hati. Bisa jadi karena kami sama-sama perempuan sehingga keterkaitan dan keterikatan cerita itu lebih "klik".
Rasanya lengkap dengan hadirnya bu Rose di Kompasiana. Saya bisa berguru pada pasangan suami-istri yang luar biasa. Pelajaran mengenai kehidupan, mulai dari cinta, karir hingga keluarga.
Mereka adalah guru kehidupan yang mempunyai kepedulian tinggi dan menjadi berkat untuk sesama melalui berbagi pengalaman hidup. Hebatnya, sebagai guru, mereka bukan sosok yang "menggurui" apalagi mendikte. Artikel yang mereka tulis mengalir namun penuh energi inspirasi.
Teladan hidup berkeluarga
Suatu waktu saya mengikuti beberapa zoom meeting tentang bagaimana menjadi istri yang baik menurut alkitab. Sebuah proyek "ketaatan" yang harus direnungkan dan sekaligus dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.
Salah satu tugas mulia seorang istri adalah menjadi "penolong" untuk suaminya. Selang berapa hari kemudian, ibu Rose menulis artikel yang menceritakan pengalaman di masa lalu, dimana kondisi keluarga yang terpuruk akibat ditipu rekan bisnis.
Saat membaca artikel tersebut, seketika saya teringat tentang peran istri sebagai penolong untuk suami. Betapa cerita bu Rose adalah gambaran nyata peran tersebut. Beliau tetap tabah dan memberi semangat kepada suami. Bahkan tanpa gengsi ikut menyingsingkan lengan baju membantu keuangan keluarga menjadi sopir antar jemput. Juga ketika pak Tjipta sakit, bu Rose pun mengambil alih pimpinan perusahaan. Artikel tersebut membawa saya kepada permenungan mendalam tentang hal ini.
Tak cukup sampai disitu, lewat artikelnya bu Rose juga menceritakan tentang emansipasi, kodrat wanita, toleransi dan bagaimana bersikap dengan tetangga dan sesama. Sungguh, saya kagum dengan sikap beliau.
Bagaimanapun peran istri dan ibu adalah sejatinya tugas yang harus seorang perempuan pertanggungjawabkan kepada Allah. Bu Rose memberi teladan bagaimana menjadi penolong untuk suami dan menjadi istri yang tunduk dan hormat kepada suami. Pantaslah, pak Tjipta sangat mengasihi ibu Rose.
Menuliskan ini semua membuat saya terbawa perasaan. Dalam hati, saya berdoa semoga saya bisa meneladaninya dalam keluarga saya. Tentu saya masih harus banyak belajar dan berbenah diri.
Dalam hidup ini tentu kita mengharapkan kebahagiaan sejati. Ketika kita bisa melihat wajah Allah dalam keluarga kita. Ketika suami mengasihi istri, istri hormat kepada suami, dan anak-anak yang menghormati orangtua. Lewat banyak artikel di Kompasiana, itu yang saya lihat dari keluarga Pak Tjipta dan Ibu Rose.
Orang mengatakan kisah pak Tjipta dan Bu Rose adalah "too good to be true", namun bagi saya semua itu niscaya. Ketika benih cinta yang tumbuh itu dirawat, dan dijaga, maka akan ada bahagia, damai, dan sejahtera yang melampaui segala akal.
Akan tetapi semua itu harus kita perjuangkan dengan terus-menerus belajar dan memperbaiki diri. Berkaca dari 56 tahun usia pernikahan pak Tjipta dan bu Rose, pasti kita pun bisa jika terus berjuang dan berdoa.
Selamat berbahagia Pak Tjipta dan Ibu Rose... Kasih karunia dan penyertaan Tuhan sungguh sempurna. Saya belum bisa membayangkan usia pernikahan ke-56. Namun, cahaya kebahagiaan dan kedamaian pernikahan Bapak dan Ibu memancar lewat semua tulisan di Kompasiana.
Kiranya berkat dan penyertaan Tuhan selalu mengiringi Bapak dan Ibu. Terimakasih sudah berbaik hati membagikan semua pelajaran dan pengalaman hidup kepada kami semua. Salam hangat.
Cikarang, 5 Januari 2020
MomAbel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H