Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Generasi "Sandwich", Bagaimana Menyikapinya?

5 Desember 2020   06:46 Diperbarui: 19 Desember 2020   06:33 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi (diambil dari freepik/tirachardz)

Ketika kita menyadari bahwa kita termasuk dalam "generasi sandwich", apa yang akan kita lakukan? Pertanyaan tersebut tentu muncul dalam pikiran setiap orang yang mengalaminya.

Dan bisa dipastikan respon tiap orang berbeda-beda. Mungkin ada yang merutuki nasib, ada yang cuek, atau mungkin justru membuatnya bekerja keras membanting tulang.

Menurut saya, generasi sandwich ini lumrah terjadi di Indonesia. Bisa karena faktor kekeluargaan, adat dan budaya, dan tuntutan sosial. Tantangan yang dihadapi pun berbeda-beda. Karena itu, sudah saatnya kita menyadarinya dan mengambil langkah bagaimana menyikapinya supaya hidup kita sendiri juga bahagia.

Bisa kah mencegahnya?
Jika kita pahami definisi generasi sandwich itu apa, bisa jadi banyak yang tidak menginginkannya. Namun bisa kah dicegah? Jawabannya adalah ada yang bisa dan ada yang tidak bisa.

Contoh konkritnya, ada kerabat saya waktu itu bertunangan. Pihak laki-laki sudah datang melamar secara resmi. Acara pertunangan sudah mempertemukan kedua keluarga besar dan sudah terjadi beberapa kesepakatan.

Namun, hal janggal terjadi ketika kerabat saya ini diajak ke rumah pihak laki-laki yang berbeda provinsi. Di sana, ibu laki-laki tersebut dengan gamblang mengatakan bahwa nanti setelah menikah, gaji anaknya (calon suami) akan dibagi dua. Separuh untuk ibunya dan separuh lagi untuk dia dan keluarga jika sudah jadi istri. Padahal gaji laki-laki tersebut tidaklah besar.

Dengan menangis, kerabat saya sedih. Di satu sisi, dia cinta dengan laki-lakinya namun di sisi lain bagaimana bisa menjalani rumah tangga yang diatur finansialnya oleh mertua.

Singkat cerita, kerabat saya memutuskan untuk membatalkan pertunangan tersebut. Semua "seserahan" dikembalikan ke pihak laki-laki. Puji Tuhan, setelah itu justru kerabat saya ini mendapat jodoh yang lebih baik

Hal yang berbeda akan terjadi jika kerabat saya dan keluarganya tidak tegas dan tetap melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mungkin akan berdarah-darah dan tertekan menghidupi anak-anaknya dengan separuh gaji suami.

Bisakah dihindari?
Tak bisa dipungkiri, di sekitar kita masih banyak adat dan budaya yang secara finansial sangat menggencet kehidupan. Jika keluarga kaya-raya mungkin tak jadi masalah. Namun, jika ekonomi pas-pasan dan tetap dipaksakan?

Menurut saya, terkadang tuntutan adat dan sosial itu diluar logika. Dalam adat suku tertentu, upacara yang diadakan berbiaya sangat besar sekali. Boleh dikatakan sangat fantastis.

Yang memberatkan lagi, sistem adat tersebut terus-menerus seperti mata rantai yang tak putus. Bahkan jika dituruti ibarat kata seseorang bekerja membanting tulang "hanya" untuk urusan tersebut.

Selain itu ada tuntutan sosial dari sekitar yang seringkali memberi tekanan psikis dan membuat tidak nyaman. Terlebih jika sampai disebut sebagai "utang" adat. Meskipun merantau tetap saja dihubungi untuk kewajiban ini dan itu. Kadang ada yang mencibir dan menyindir tanpa melihat kesulitan orang lain.

Beberapa kasus, sebenarnya kewajiban dari orangtua (yang turun-temurun), namun ketika orangtua sudah tidak bekerja, anak lah yang diwajibkan menyokong orangtua. Bayangkan, tiap bulan selalu ada acara pesta adat!

Memang tidak semua orang merasa itu sebagai beban, justru sebuah kewajiban yang jika kita penuhi akan mendatangkan berkah. Namun, sepanjang yang saya lihat banyak yang akhirnya mengorbankan kepentingan keluarga kecil. Anak-anak yang kurang berpendidikan, utang yang menumpuk, keuangan yang besar pasak daripada tiang, dan seterusnya.

Jika sudah begitu, beberapa orang memilih untuk menikah dengan orang di luar sukunya. Menurut saya tindakan ini bukan pengecut, tapi tindakan realistis karena seseorang berhak hidup bahagia untuk diri dan keluarganya.

Bagaimana menghadapi?
Seringkali urusan kewajiban yang menekan menjadi sumber pertengkaran keluarga. Menurut saya, suami-istri perlu membuat kesepakatan.

Misalnya saja, kalau saya dan suami sepakat untuk urusan orangtua kita penuhi namun untuk saudara dan kerabat jauh kita akan pertimbangkan dulu.

Bagaimanapun prioritas tetap pada anak-anak kami. Masa depan mereka masih panjang dan sudah selayaknya kita perjuangkan. Anak-anak adalah tanggung jawab kami.

Beberapa orang akan bilang kami pelit dan terlalu cuek. Biarkan saja, toh yang mengatakan demikian biasanya orangnya tidak mau berusaha dan bekerja. Hal ini juga sebagai upaya untuk memutus rantai supaya anak-anak saya tidak ikut menjadi generasi sandwich karena adat dan budaya.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun