Disini ada rasa kepuasan yang membuncah dan meluap. "Hei, lihat karma atas perbuatanmu!" rutukku dalam hati. Aku bayangkan laki-laki itu menyesal. Sekarang sedang menikmati akibat dari perbuatannya padaku.
"Hei.. kamu dendam?" suara hati kecilku menyapa. "Oh nggak, itu fakta. Bahwa sekarang dia sudah menua tanpa memiliki anak. Mungkin tak akan bisa memiliki anak, " suara yang lain menimpali.
Kuingat percakapan via WA setahun lalu ketika sebuah grup WA mempertemukanku dengannya. Aku biasa saja. Nothing to feel. Dia yang mengirim WA pribadi ke nomorku. Hanya menanyakan kabar dan basa-basi. Dari obrolan garing tersebut, aku tahu dia belum dikaruniai keturunan. "Masih terus berusaha, " begitu katanya.
Disitu aku merasa "menang" karena aku punya tiga malaikat kecil nan lucu. Namun di sisi hatiku yang lain, aku merasa iba. Hei, bukankah iba dalam hal ini tak ada beda dengan sebuah kesombongan? Ah, biarlah! Biarkan aku sombong kali ini.
Aku sekarang merenung dan mengingat masa lalu. Puluhan tahun ke belakang. Masa ketika aku merasa dicintai oleh laki-laki yang baik, seiman, dewasa, dan tak neko-neko. Dia pertama bagiku, begitu pula aku baginya. Namun, dengan tiba-tiba dan tanpa pesan apapun, dia menghilang. Lenyap entah kemana.
Aku perempuan Jawa. Tak elok mendatangi rumah laki-laki untuk meminta kepastian. Aku menunggunya datang, namun dia semakin menghilang. Tak ada perpisahan. Pun sepenggal kata putus.
Hmmm... sudah, sudah... untuk apa kupikirkan lagi? Semua sudah berlalu dan sekarang aku justru bersyukur tak menikah dengannya. Bukankah laki-laki seperti itu adalah pengecut? Tak punya pendirian dan prinsip teguh? Menuntut sebuah kesetiaan dengan mengutip Amsal, namun dia sendiri justru berkhianat.
Aku masih ingat dia memberiku pembatas kitab suci dengan kutipan Amsal 19:22 : Â "Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya; lebih baik orang miskin dari pada seorang pembohong." Karenanya, aku pikir dia laki-laki setia dan aku percaya.
Ah, sudahlah sekarang aku merasa hidupku "lebih" dari dia. Suami lebih mapan dan baik. Sedangkan dia hidup bersama perempuan pengarang cerita bohong itu, tanpa anak pula. Dia pasti kesepian! Jadi bukan aku yang kesepian. Hahaha... Tawa jahatku semakin menjadi, jika saja hujan tak turun pagi ini.
Kutarik nafas panjang dan perlahan. Ya, Tuhan... Ampuni aku. Mengapa aku menertawakan kemalangan orang? Mengapa aku bersorak-sorai melihat nasib buruk dan penderitaan orang?Â
Ya, Tuhan... Saya berdosa. Saya sungguh berdosa!