Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Mbah Kasan

30 September 2020   06:00 Diperbarui: 30 September 2020   05:58 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi (Dok. Pribadi)

Kususuri jalan kecil yang dulunya hanya tanah tanpa cor semen. Sengaja kulewati jalan ini hanya ingin mengenang masa kecilku jika aku menginap di rumah almarhum Uti. 

Mungkin sudah lebih dari dua dekade aku tak pernah lagi menginjakkan kaki di kampung Uti. Ah, betapa waktu cepat berjalan dan aku telah menua!

Jalan kecil ini dulu jalan favoritku karena di jalan yang pendek ini hanya ada satu rumah, yaitu rumah almarhum mbah Kasan. Aku tidak mengenal beliau dengan baik. Hanya sebatas basa-basi saja untuk bertegur sapa layaknya anak kecil kepada orang yang sudah sepuh.

Namun, waktu itu dengan diam-diam aku kagum dengan mbah Kasan yang rajin menyapu halaman rumahnya hingga bersih dan rapi. Aku kagum dengan caranya menata tanaman di halaman itu. Tamannya sangat asri.

Pagar tanaman teh-tehan yang selalu terpangkas rapi, deretan bunga-bunga kertas warna-warni, beberapa kaktus, tanaman suplir, dan pohon kamboja yang asri. 

Hmmm... memandang taman mbah Kasan itu seolah memasuki taman bunga para dewi. Harmoni warna, kerapian, dan keindahan dalam sebuah kesederhanaan.

Sedangkan rumah mbah Kasan sendiri bukan rumah yang mewah, apalagi modern. Rumah berarsitektur Jawa klasik yang tak begitu menyolok dan terlihat gebyarnya. Tapi prediksiku, dalam rumah itu banyak benda berharga dan bernilai seni.

Sekarang taman yang yang kukagumi itu ada di hadapanku. Aku kaget karena bayangan tanaman yang indah itu sirna seketika. Aku hanya menemui rumah tua dengan halaman tak terurus.

Tak ada lagi tanaman suplir di pot bunga teras. Tak ada lagi bunga tapak dara berwarna pink, ungu, dan putih. Tak ada lagi deretan anggrek, paku tanduk rusa, dan paku sarang burung yang membuat asri taman mbah Kasan.

Padahal aku ingin bernostalgia dengan tanaman hias "jadul" yang sekarang menjadi hits kembali. Namun, yang kutemui hanya halaman dengan rumput tinggi, tanaman bersemak, dan halaman yang penuh dengan sampah daun kering.

Kuperlambat langkahku untuk mengamati taman mbah Kasan. Namun tak kutemukan secuil pun sisa-sisa keindahan taman. Pasti sudah bertahun-tahun rumah ini kosong dan tak berpenghuni, begitu pikirku.

Aku pun kembali melangkah meninggalkan rumah mbah Kasan. Rumah Uti ada di ujung jalan besar. Aku harus melewati dua rumah lagi.

"Sreekkk... sreekkk..." bunyi sapu lidi yang beradu dengan dedaunan kering dan tanah.

Ada bulik Nah yang sedang menyapu halamannya. Melihat langkahku mendekatinya, dia pun menoleh dan menyapaku sumringah.

"Lha, kok mbak Estu? Kapan datangnya? Kenapa bisa lewat situ? " tanyanya ramah.

"Iya, Bulik... mau ke rumah Uti. Tapi tadi sampai pertigaan SD Inpres, Ibu malah lupa bawa bunga tabur. Mau nyekar saja kok, tapi sekalian mampir ke rumah Budhe. Katanya durian Uti lagi banyak buah, " jelasku panjang lebar.

Bulik Nah pun mengangguk tersenyum. Dia sangat hafal dengan ibuku yang tak pernah absen nyekar setiap tahun.

"Oh gitu, lha kok lewat jalan situ? Takut ada ular loh mbak... Rumah mbah Kasan sudah lama kosong, " kata bulik Nah.

"Tadinya mau sambil liat taman mbah Kasan, bulik. Ternyata sudah beda ya?" sahutku.

"Iya lah mbak... kalau nggak ditempati dan diurus ya rusak semua. Sayang sebenarnya, " ucap bulik Nah.

Aku mengangguk mengiyakan. Bulik Nah sudah selesai menyapu. Aku pun mengedarkan pandanganku ke halaman rumah itu. Hmmm... masih seperti dulu, pikirku. Tanaman hias berjajar rapi di teras rumahnya. Di bagian depan, masih berdiri tegak tiga pohon rambutan.

Bulik Nah menghampiriku. Aku ingin segera pamit, tapi sepertinya belum tampak mobil Ibu di ujung jalan. Entah kenapa tiba-tiba kuajukan pertanyaan aneh kepada Bulik Nah.

"Bulik, sayang banget ya rumah mbah Kasan? Mending Bulik beli aja, nyambung sama rumah Bulik meskipun cuma belakangnya hehe..." kataku kepada Bulik Nah. Kulihat Bulik hanya menarik nafas.

"Haiya harusnya gitu Mbak Estu, tapi kan tidak semudah itu. Rumah itu jadi rebutan anak-anak mbah Kasan. Masih sengketa sampai sekarang, " jawab Bulik. Air mukanya terlihat sedih.

"Ya begitulah mbak, jadinya nggak ada yang rawat sekarang, " pungkasnya menutup obrolan. Aku pun hanya tersenyum menganggukkan kepala sebagai tanda aku paham masalahnya.

Mobil Ibu sudah memasukki pekarangan Uti, segera aku berpamitan dengan bulik Nah. Kucium tangan orang tua yang bijaksana itu. Aku pun melangkah menuju rumah Uti.

***

"Pingin ke rumah Mama, tapi malas! Ntar dikira mau menguasai rumah ya, Beb? Nggak tahan sama istri mas Nic" tanya suamiku pagi itu. "Oh, lha maunya gimana? Aku manut, " sahutku.

Dulu ketika almarhum Mama mertuaku masih hidup, hampir tiap bulan kami ke rumah Mama. Sejujurnya aku bosan dan nggak betah juga main di rumah mertua. Hahaha

Sekarang suamiku yang justru malas setelah Mama mertua berpulang. Aku sendiri no comment untuk urusan harta warisan orangtuanya. Aku harus bisa menempatkan diriku sesuai pesan Bapak.

"Jadi gimana ini? " tanya suamiku lagi setelah terdiam sekian lama. Dia menarik nafas panjang. Hatinya bimbang. Mungkin dia kangen namun juga kesal dengan situasi yang terjadi sekarang ini.

Aku tahu dia tidak nyaman dengan istri mas Nic yang sok berkuasa setelah Mama tiada. Mas Nic sendiri berulang-kali mengatakan bahwa dia yang berhak memutuskan. Herannya, istrinya ikut-ikutan dalam seteru internal keluarga ini.

Aku bingung untuk memberi jawaban. Seketika aku menjadi ingat rumah mbah Kasan yang kulihat dua minggu yang lalu.

Aku bayangkan mbah Kasan menitikkan air mata di alam sana melihat rumahnya tak terurus. Hatinya sedih melihat bunga-bunga yang kini bersaing dengan semak-belukar.

Aku bayangkan dada mbah Kasan sesak melihat pintu rumah yang rapuh, tumpukan debu, barang berserakan di dalam rumah, mungkin juga radio kesayangan ikut mati karena debu.

"Sudahlah kesana aja. Yuk..." jawabku cepat tanpa menimbang ini dan itu lagi. Aku beranjak memanggil anak-anak untuk ikut serta.

Aku tak mau berpikir panjang. Aku ingin tetap datang ke rumah mertua meskipun beliau telah tak ada. Mungkin aku bukan menantu yang sempurna. Namun, setidaknya aku ingin membahagiakan Mama dengan caraku.

Biarlah Mama tetap tersenyum dalam tidur panjangnya. Rumahnya akan selalu kujaga dan tanamannya kupelihara. Itu saja.

Cikarang, September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun