Aku pun kembali melangkah meninggalkan rumah mbah Kasan. Rumah Uti ada di ujung jalan besar. Aku harus melewati dua rumah lagi.
"Sreekkk... sreekkk..." bunyi sapu lidi yang beradu dengan dedaunan kering dan tanah.
Ada bulik Nah yang sedang menyapu halamannya. Melihat langkahku mendekatinya, dia pun menoleh dan menyapaku sumringah.
"Lha, kok mbak Estu? Kapan datangnya? Kenapa bisa lewat situ? " tanyanya ramah.
"Iya, Bulik... mau ke rumah Uti. Tapi tadi sampai pertigaan SD Inpres, Ibu malah lupa bawa bunga tabur. Mau nyekar saja kok, tapi sekalian mampir ke rumah Budhe. Katanya durian Uti lagi banyak buah, " jelasku panjang lebar.
Bulik Nah pun mengangguk tersenyum. Dia sangat hafal dengan ibuku yang tak pernah absen nyekar setiap tahun.
"Oh gitu, lha kok lewat jalan situ? Takut ada ular loh mbak... Rumah mbah Kasan sudah lama kosong, " kata bulik Nah.
"Tadinya mau sambil liat taman mbah Kasan, bulik. Ternyata sudah beda ya?" sahutku.
"Iya lah mbak... kalau nggak ditempati dan diurus ya rusak semua. Sayang sebenarnya, " ucap bulik Nah.
Aku mengangguk mengiyakan. Bulik Nah sudah selesai menyapu. Aku pun mengedarkan pandanganku ke halaman rumah itu. Hmmm... masih seperti dulu, pikirku. Tanaman hias berjajar rapi di teras rumahnya. Di bagian depan, masih berdiri tegak tiga pohon rambutan.
Bulik Nah menghampiriku. Aku ingin segera pamit, tapi sepertinya belum tampak mobil Ibu di ujung jalan. Entah kenapa tiba-tiba kuajukan pertanyaan aneh kepada Bulik Nah.