"Kamu pasrah dan berserah gimana, Na? Jadi kalau aku serong, kamu nggak berusaha berjuang untuk kita? Kamu akan lepas aku begitu saja?"
"Atauuu... jangan-jangan itu yang kamu inginkan, kita berpisah supaya kamu bisa cari yang lebih baik dari aku? Iya kan?" tanya Nano dengan nada sedikit meninggi. Nano sepertinya mengambil nada dasar : cemburu!
Nano, laki-laki penyayang namun sekaligus pencemburu sejati. Terkadang sifatnya menjadi pemantik api pertengkaran rumah tangga.Tak jarang pula Na kewalahan memadamkan api cemburu yang tak jelas asal-muasalnya.
Na menarik nafas panjang.
"Hmmmm... ya bukan begitu maksudnya. Kenapa sih langsung main tuduh aja? Siapa yang mau cari lagi? Emang segampang itu cari laki-laki trus kawin? Tidak semudah itu Fergusooo.." balas Na.
Dimana-mana perempuan akan marah dan tersinggung jika dituduh yang enggak-enggak. Meskipun atas nama cemburu. Cemburu bukan berarti cinta. Cemburu dengan dugaan atau tuduhan tanpa dasar itu menyakitkan. Na mulai tersulut rasa kesalnya.
"Ya kan siapa tahu Na, kamu masih cantik. Kamu bisa dapat yang lebih muda, lebih ganteng, dan lebih kaya mungkin..." balas No. Kali ini ada nada bercanda. Nano terlihat sedikit takut dengan aura kemarahan Na.
"Ihhh.... enak saja. Sebenarnya yang harus cemburu itu aku, Mas! Kamu sering bussiness travel berminggu-minggu, meeting di luar kota, belum lagi banyak cewe muda di kantor. Bukannya peluangnya lebih banyak kamu? Kamu tinggal bilang pulang malam ya, ada telecon ya, padahal bisa jadi alasan buat pacaran lagi! Bisa kan?"
"Sementara, aku cuma di rumah. Iya kali main mata sama panci, wajan, sutil, serok???? Belum lagi ada anak-anak. Duh, nggak mungkin banget tauk!" Na tak kalah panjang menjawab.
"Ih ini kenapa dari romantis jadi anarkis gini ya?" Na buru-buru menyahuti perkataannya sendiri. Dia sadar sudah laiknya emak-emak ngoceh.
"Hmmm... iya juga. Aku nggak pingin gimana kok, Na... Aku cuma pingin tahu kamu masih sayang sama aku nggak?" kata Nano tersipu.