"Yeay... aku mau ke masjid Merah!", Begitu kata si sulung ketika saya beritahu akan jalan-jalan ke Cirebon.Â
Saya sendiri kurang tahu masjid Merah ini. Si sulung tahu dari buku serial misteri favorit yang dia baca "Misteri Kota Topeng Angker". Sebuah buku cerita misteri untuk anak dengan latar tempat dan budaya kota Indramayu dan Cirebon.
Saya sendiri pernah membacanya. Namun apa daya, faktor usia membuat saya lupa jika masjid Merah ada dalam buku tersebut. Begitulah ibu-ibu, harap maklum, hehehe.
Berbekal google maps, kami pergi ke masjid Merah. Bayangan saya, masjid ini terletak di pinggir jalan besar. Setelah ketemu, ternyata masjid ini berada di dalam perkampungan. Tepatnya di desa Panjunan. Tak sulit untuk menemukannya, hanya saja tidak ada tempat parkir kendaraan roda 4.
Masjid Tua yang Bersejarah
Sejujurnya saya agak takut-takut ke masjid. Bukan karena saya Katolik, tapi takut salah bersikap dan kurang berkenan. Tapi karena si sulung benar-benar ingin tahu, saya niatkan. Saya sudah memberi tahu untuk melihat dari depan saja, tidak usah masuk.
Namanya anak-anak yang rasa penasarannya tinggi, begitu di depan masjid dia langsung bilang, "wow!". Setelah itu kami berdua membaca papan nama yang ada di depan masjid. Masjid ini dibangun kurang-lebih pada tahun 1480. Itu berarti sudah sangat tua sekali karena melintasi lebih dari 5 abad.
Namun tak lama setelah itu, ada ibu-ibu tua yang mempersilakan saya masuk. "Boleh kok masuk", ucapnya ramah. Akhirnya saya dan si sulung masuk ke dalam masjid.
Arsitektur Unik
Gerbang masjid berupa gapura "Candi Bentar". Melihat sekilas pun kita akan terpesona dengan bentuk bangunan ini. Bagi saya yang awam, terlihat jelas nuansa "Majapahitnya".
Serambi dalam dan luar ini dipisahkan dengan tembok kurang lebih 7/8 tinggi tembok masjid. Tepat di bagian tengah terdapat mihrab dan pintu kayu. Lengkungan mihrab yang berupa paduraksa sungguh menarik bentuknya.
Tak berapa lama, beberapa orang tadi selesai sholat kemudian berpamitan. Disitu saya baru terpikir bahwa mereka adalah peziarah. Maklum, saya benar-benar tak menyangka masjid Merah ini sudah berusia 5 abad lebih dan merupakan masjid tujuan para peziarah.
Pilar Kayu dan Piring Keramik China
Selain arsitektur bangunan yang unik dan indah, ada hal lain yang menarik hati saya. Adalah pilar kayu yang kokoh dan piring-piring keramik yang menghiasi dinding masjid.
Banyak pilar yang menyangga bangunan masjid. Kayu pilar masih terlihat kokoh dan tegak. Bagian bawah pilar ditopang dengan tiang batu bata merah.
Kembali ke piring keramik tadi, saya berusaha mendekat dan memotret beberapa corak yang ada di piring keramik. Hasilnya saya terkagum-kagum. Pastinya gambar corak pada piring keramik tersebut dilukis pakai tangan.
Masjid Merah ini dibangun oleh Syarif Abdurraman atau Pangeran Panjunan yang merupakan keturunan Arab sekaligus murid dari Sunan Gunung Jati.
Jika kita melihat masjid Merah ini, sebenarnya tidak terlalu terlihat seperti masjid pada umumnya. Ada unsur budaya Hindu-Budha dan China, sedangkan unsur budaya Islam sedikit bahkan tak terlihat betul.
Mihrab dan tulisan kaligrafi Arab yang ada di tiang penyangga adalah 2 contoh budaya Islam yang saya lihat. Mungkin inilah proses akulturasi budaya pada saat itu. Sebuah wujud harmonisasi Islam dengan budaya setempat.
Matahari sudah berada di sebelah barat. Beberapa orang yang ada di masjid seperti bersiap untuk sholat maghrib. Saya segera berpamitan. Mungkin hanya 15 menit saya di Masjid Merah ini. Namun saya sudah senang bisa melihat karya arsitektur masa lalu yang kokoh berdiri hingga saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H