Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gara-gara Warisan

4 Juli 2019   07:01 Diperbarui: 4 Juli 2019   07:04 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari brilio.net

Kak Yen selalu memposisikan diri sebagai orang yang terzolimi dalam keluarga. Keluhan hidup susah selalu terucap dari bibirnya. Hal itu diungkapkan sekaligus sebagai legitimasi bahwa dia tak perlu ikut andil dalam merawat orangtua. Segala urusan dan kewajiban dalam keluarga diabaikannya.

Na hanya melihat kak Yen dan keluarganya ini sangat egois. Pernah suatu kali Na tertawa masam tatkala kak Yen seolah "mewajibkan" harus membantunya. Segala dalil alkitab dikeluarkannya. Aneh. Kenapa tak berusaha bekerja?

Sungguh Na mendidih mengingat kelakuan kak Yen. Menyedihkan sekali, baru juga berapa bulan Ibu berpulang. Orang bilang tanah kuburan masih basah. Kak Yen ngotot mau menjual warisannya. Dan suami Na yang diwajibkan membelinya karena kak Yen punya banyak tanggungan hutang dengan suaminya. Dengan begitu kak Yen akan langsung menerima dana segar tanpa usaha sedikitpun.

Hati.. dimana kah hati kak Yen? Itu yang selalu menggema di hati Na. Rasanya banyak orang tidak mampu tapi masih punya hati dan harga diri. Tak ingat kah kak Yen jika Na dan suaminya mengeluarkan uang banyak untuk perawatan dan pemakaman orangtuanya?

Na bergumam, "apa dikira kita ini Bank Indonesia yang mencetak uang?" Belum lagi jika ingat kata-kata Yen kepada suaminya yang adalah adiknya : "No, kebaikan itu tidak boleh diungkit. Biar Tuhan yang memperhitungkan." Na emosi mendengarnya, jika merobek mulut orang bukan kriminal mungkin Na akan melakukannya. 

Bagaimana mungkin seorang kakak berkata kepada adiknya seperti itu? Bagi Na, sebuah kebaikan diungkit dalam hal ini karena sikap yang keterlaluan. Bukan karena tidak tulus atau pamrih. Jika orang tahu berterimakasih dan bersikap baik pasti orang juga tak akan mengungkitnya.

Lama-lama Na pusing memikirkan berbagai masalah yang menerjangnya beberapa bulan ini. Akhirnya diambilnya telepon genggam di meja. Na memencet first dial-nya : Ibu.

"Halo Buu... lagi mendidih ini..."

"Ah, kenapa pakai mendidih segala. Mbok wes lah, namanya orang hidup harus sabar," sahut Ibunya lembut.

Mendengar nasehat ibunya, Na langsung nyerocos tak karuan. Dia bukannya tidak sabar tapi eneg melihat muka-muka munafik. Sok alkitabiah, bawa-bawa ayat tapi rakus kalau masalah harta dan warisan. Ibunya tetap tenang seperti biasa.

"Ingat pesan bapak, nduk.. kalau masalah warisan jangan emosi. Kalau dikasih ya diterima, kalau tidak dikasih jangan minta. Tidak elok!" Ibu Na menasehati pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun