Kuingat banyak yang kusyuk berdoa. Dia mengajakku mengelilinginya. Banyak yang dia ceritakan padaku. Kudengarkan sambil merasakan angin sore yang berhembus.
"Kamu tetap ke gereja ya. Aku tak mengharuskanmu ikut caraku, " katanya.
Aku tahu kemana arah pembicaraannya. Tapi aku enggan menjawabnya waktu itu. Ada sebuah ragu di dadaku.
"Yang penting kamu bisa berbaur dengan kami. Biasa saja kok, " lanjutnya datar.
Kuanggukan kepalaku tanpa tahu apakah benar itu jawabanku. Biarlah. Dia kembali mengajakku memutari wihara. Kulihat calon biksu berjalan tanpa alas kaki di atas jalan kerikil. Dia menjelaskan padaku tentang apa yang dilakukan calon biksu tersebut. Aku lupa namanya. Ah, benar-benar kenangan usang!
Segera kuberanjak untuk menyiapkan sarapanku. Namun sungguh sial! Kenangan akan wihara itu tak mau juga pergi. Dia mengikutiku terus di dapur.
Pada akhirnya aku teringat ukiran bunga teratai di tiang wihara. Teratai yang menguncup, kemudian setengah mekar, dan akhirnya mekar sempurna. Katamu tahapan mekarnya bunga teratai melambangkan tahapan pencerahan dalam diri seseorang.
Ya, sekarang aku tahu kenapa teratai yang mekar sempurna di kebun Raya itu seolah merongrongku untuk menyibak lembaran masa lalu. Ternyata ada kamu disitu. Ah, sudahlah semoga kamu berbahagia sekarang.
Kulangkahkan kakiku menuju tangga. Aku harus menyiapkan keperluan kantorku hari ini. Perasaanku sudah ringan sekarang. Tak lagi gundah yang tak jelas menghinggap di hatiku.
Pada anak tangga ketiga, tiba-tiba kudengar ponsel yang kutaruh di kamar berbunyi. Segera kupercepat langkahku. Namun tak terkejar, deringnya sudah berhenti.
Satu panggilan tak terjawab.
Lima pesan WA masuk dari kakakku, mas Nano.