Bagi umat Katolik, masa Pra-Paskah ditandai dengan Rabu Abu sebagai awal dari perjalanan retret Agung. Tahun ini Rabu Abu jatuh pada tanggal 6 Maret. Dalam masa Pra-Paskah ini umat Katolik melakukan puasa dan pantang selama 40 hari.
Sejatinya tak ada yang berubah mengenai hal ini. Hanya saja tahun 2019 ini merupakan tahun politik dengan adanya Pemilu, yaitu Pilpres dan Pileg. Secara kebetulan waktunya pun tak jauh beda.
Pemilu dilaksanakan pada tanggal 17 April, sedangkan Kamis Putih sebagai awal dari pekan suci jatuh tanggal 18 April. Artinya, umat Katolik melakukan pantang dan puasa pada saat suhu politik negeri ini sedang panas-panasnya.
Adalah hal yang tidak mudah menjalankan pantang dan puasa dengan kondisi demikian. Terutama untuk kaum milenial yang aktif di media sosial.
Semua orang tahu riuhnya gejolak politik di media sosial. Hoaks, fitnah, atau berita provokasi hilir-mudik dengan mudahnya di media sosial.
Belum lagi "bumbu" berupa drama dari para elit politik kita. Gayeng bener!!!! Rasanya bibir gatal untuk berkomentar. Begitu juga dengan jari tangan untuk menulis dan atau membagikan berita politik yang bombastis.
Saya pribadi berpikir sebaiknya saya "puasa" ber-media sosial. Pastinya akan lebih bermanfaat banyak jika waktu 40 hari tersebut, saya pergunakan untuk hal positif lain.
Ternyata Berat!
Dimulai dari Rabu Abu, saya memulai "puasa sosmed". Seminggu pertama terasa berat. Biasa buka gawai --lihat foto-foto di instagram, lihat postingan fesbuk, lihat linimasa twitter-- membuat saya bingung sendiri. Mau ngapain ya?
Di situlah saya sadar betapa selama ini banyak waktu saya habiskan untuk sosmed. Meskipun sebentar, jika dalam sehari membuka berkali-kali ya sama saja.
Puasa sosmed menjadi berat untuk orang-orang yang aktif di dunia maya. Ada yang aktif posting dan ada yang aktif berkomentar. Postingan pun beraneka rupa. Rupa "pamer" di dunia maya bisa dari A sampai Z. Dari keluhan receh hingga yang viral. Dari yang benar hingga yang hoaks.
Meskipun belum 100%, tapi puasa sosmed buat saya lebih menantang. Disitulah kontrol diri saya diuji. Saya belajar untuk menjauh dari keriuhan dunia maya dengan segala daya tariknya.
Lebih Produktif
Sudah lama saya tidak menulis di Kompasiana. Dalam masa Pra-Paskah ini, saya diingatkan untuk menulis kembali. Setidaknya waktu bersosmed ria saya alihkan menjadi waktu untuk menulis dan membaca buku.
Sebenarnya menulis sambil lalu, sembari melaksanakan "tugas negara" saya sebagai ibu rumah tangga. Jika biasanya buka sosmed dan scrolling instagram, hari-hari lebih banyak saya manfaatkan menulis dan membaca buku.
Sudah beberapa buku yang saya baca. Meskipun bukan buku tentang agama. Setidaknya "polusi" sosmed ini bisa berkurang dengan bacaan yang lebih bermutu dan memberi nilai tambah.
Juga beberapa artikel yang saya tulis. Tak masalah jika pageview-nya sedikit hehehe. Ada kebahagiaan lain kok bersama K, yaitu berinteraksi dengan sesama Kompasianer.
Ohya, saya pecah rekor jumlah artikel semenjak jadi Kompasianer. Biasanya sebulan 1 artikel, tapi bulan ini hampir 10 artikel. Ajaib ya?
Damai di Hati
Awalnya takut juga ketinggalan berita terkini karena menjauh dari dunia maya. Ternyata tidak juga. Justru disini saya merasa sadar bahwa tidak semua hal menjadi berguna dan layak untuk direspons.
Perang opini dan status di sosmed seringkali menyeret otak kita untuk memikirkannya. Begitu juga dengan penilaian kita terhadap teman, saudara, dan orang di sekitar kita. Hanya karena beda pilihan presiden, beberapa orang "ngegas", left group WA, atau menulis status yang sebenarnya menghina dan memfitnah.
Saya bukan malaikat, karenanya lebih baik mundur daripada tergoda dan terseret arus politik di dunia maya. Kedamaian hati tidak hadir dengan sendirinya, namun harus kita ciptakan.
Selain politik, seringkali sajian berita juga tidak mendidik. Menggosipkan seseorang artis atau public figure dengan cara menguliti luar dan dalam untuk kemudian berasumsi. Ah.. rasanya capek! Toh bukan urusan kita juga. Hidup mereka adalah hak mereka.
Otak saya punya kapasitas kecil untuk sampah-sampah urusan orang lain. Tak akan ada gunanya juga membahasnya. Rasanya damai di hati ketika saya bisa mengendalikan pikiran saya sendiri. Ketika saya berusaha bersikap positif dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Sempurnakah puasa saya? Tentu saja tidak, setelah Pemilu saya mulai mengintip hasil quick count hehehe... Begitulah manusia. Menjadi sempurna adalah mustahil, tetapi berusaha dan terus berusaha adalah jalan terbaik.
Selamat merayakan Pekan Suci untuk teman-teman yang merayakan!
Cikarang, 18 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H