Beruntung siang itu cuaca cerah dengan langit biru membentang. Udara tidak terasa terlampau panas karena di sekitar tongkonan banyak pepohonan rindang. Tana Toraja selalu sejuk berada di dataran tinggi.
Jika pada tulisan sebelumnya (baca disini), saya bercerita tentang lokasi pesta maka kali ini saya akan menulis tentang rangkaian acara pesta pernikahannya.
Saya dan keluarga tiba sebelum resepsi dimulai. Karena kami termasuk keluarga dari pengantin laki-laki, kami masuk dalam barisan pengiring memasuki pelaminan. Iring-iringan pengantin di deretan paling depan adalah gadis-gadis cantik berbaju merah yang menari. Mereka biasa disebut sebagai pa'doloan.
Awalnya saya pikir musik rancak pengiring pengantin berasal dari tim musik atau kaset. Begitu masuk di area tongkonan, baru sadar ternyata musik tersebut berasal dari kerumunan ibu-ibu. Ibu-ibu ini masing-masing memegang batang bambu untuk dipukul di lesung kayu. Kesenian ini dinamakan Ma' Lambuk.
Di Jawa sebenarnya ada kesenian serupa, bentuk lesungnya pun sama. Jika Ma' Lambuk menggunakan batang bambu, di Jawa menggunakan alu yang dibuat dari kayu. Sayangnya, seni tersebut sudah hampir tidak pernah ditemukan lagi di Jawa.
Hmmm.. inilah keunikan orang Toraja, mereka masih kental menjaga dan mempertahankan budaya dan adatnya hingga sekarang.
Berhubung saya masuk ke dalam iringan, saya tidak bisa mengambil video dari Ma' Lambuk acara kemarin. Tapi kurang lebih sama dengan yang ada di youtube (cari dengan kata kunci ma' lambuk). Bedanya, Ma' Lambuk yang saya lihat di acara pernikahan lebih "hidup" karena digunakan untuk mengiring pengantin.
Busana Adat
Jika menghadiri pesta pernikahan Toraja, kita akan melihat kemeriahan yang terlihat dari baju-baju yang dikenakan oleh pengantin dan keluarga. Baju-baju yang dikenakan mereka berwarna-warni dengan pilihan warna cerah seperti merah, oranye, biru, hijau, dan lain-lain.
Yang paling unik dan menarik adalah baju yang dikenakan oleh anak-anak. Anak perempuan memakai baju dengan aksesoris yang dinamakan kondure. Untuk anak laki-laki lebih simpel dengan baju tenun, ikat kepala, dan memegang keris. Keris ini dipegang dengan tangan, bukan diselipkan di baju seperti orang Jawa.
Setelah pengantin sampai pelaminan, keluarga pengiring akan membubarkan diri untuk kembali ke lantang yang disediakan. Tak lama kemudian, gadis-gadis cantik penari akan kembali menari di depan pelaminan.
Pencatatan Sipil
Awalnya saya mengira bapak-bapak berseragam dinas PNS adalah tamu undangan di acara pernikahan ini. Ternyata setelah acara tarian, pembawa acara mengatakan acara selanjutnya adalah pencatatan sipil pernikahan. Jadi, bapak berseragam dinas PNS tersebut merupakan petugas dari catatan sipil.
Menurut saya, momen pencatatan sipil ini menjadi sangat istimewa. Pernikahan di gereja --yang dilaksanakan pagi hari sebelum resepsi-- disaksikan oleh umat, sedangkan pencatatan sipil disaksikan oleh seluruh keluarga dan undangan di rumah tongkonan yang luas.
Petugas catatan sipil dan 2 saksi (masing-masing dari pihak laki-laki dan perempuan) duduk berhadapan dengan pengantin di atas pelaminan. Sebelum pencatatan, petugas membacakan hakikat dan ketentuan pernikahan sesuai UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Seluruh hadirin akan mendengar dan menyimak.
Unik ya? Hmmm... bisa jadi sebenarnya seperti inilah pernikahan yang seharusnya : sah secara agama, hukum negara, dan adat. Tak perlu diam-diam apalagi sembunyi-sembunyi. Ada yang setuju dengan saya?
Bersambung...
Tana Toraja, 11 Juni 2018
(RR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H