Semakin berjalan menyusuri bibir kawah dari ujung ke ujung, saya jadi sadar bahwa kawah Ratu sudah bersolek mengikuti jaman. Meskipun pengunjung banyak, namun tak sampai berebut atau antri berfoto. Banyak spot-spot cantik untuk berfoto. Jika dulu hanya ada satu papan nama yang wajib untuk berfoto, sekarang ada beberapa.
Pada saat menaiki tangga menuju ujung kawah sebelah kiri, saya melihat di pinggir-pinggir kawah terdapat pohon kecil dengan pucuk merah-ungu. Waktu melihatnya, saya mengira pohon itu seperti tanaman pucuk merah yang biasa ditanam di taman-taman kota.
Pohon-pohon kecil tersebut terlihat rapi dan berjajar dibalik pagar kawah dengan jarak yang tidak jauh. Karena penasaran, saya bertanya kepada bapak-bapak pedagang yang ada. Apakah pohon-pohon ini sengaja ditanam. Beliau tertawa kecil dan mengatakan : tidak! Kemudian menjelaskan bahwa pohon-pohon ini tumbuh dengan sendirinya. Pucuk daun yang muda bisa dibuat lalapan. Beliaupun mengambil daun pucuk merah tersebut dan mencontohkan dengan memakannya. Akhirnya saya mencoba meraba daunnya. Ternyata daun tersebut lebih tebal. Berbeda dengan pucuk merah yang ada di dataran rendah.
Cantigi merupakan tumbuhan khas daerah pegunungan, utamanya daerah kawah. Daunnya tetap hijau sepanjang waktu. Tanaman ini tahan terhadap berbagai cuaca dan musim yang berganti. Terpaan kabut, badai, hujan, Â panas, ataupun dingin tak menggoyahkan pohon ini untuk tetap tegak berdiri. Katanya, akarnya mencengkeram kuat ke bumi. Sayang, kemarin pohon ini belum berbunga dan berbuah.Â
Hmmm... dengan  jalan-jalan ke Tangkuban Perahu, saya jadi tahu kawah Ratu dan pohon cantigi merah-ungu. Saya banyak belajar bersama anak saya. Semakin siang, semakin banyak pengunjung yang datang. Setelah cukup puas, kami pun memutuskan untuk pulang.
Di dalam mobil, anak saya bilang hari ini  sangat menyenangkan.  Mobil menuruni jalan gunung, meninggalkan salah satu alam eksotis Indonesia. Melihat pohon pinus di kiri-kanan, juga bunga torempet yang berderet-deret, ingatan saya masih tertambat pada pohon cantigi.  Dia tetap cantik berdiri, seolah tetap berpengharapan meski sudah di tempat yang tinggi sekalipun. Setelah saya renungkan, kok saya jadi berharap hidup bisa seperti pohon cantigi  merah-ungu. Hidup bukan hanya berusaha menjadi seseorang yang "kece-badai", tapi juga seseorang yang "tahan badai" (kehidupan) dan bermanfaat !
(RR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H