Sebagai orangtua jaman now, memfasilitasi rasa ingin tahu anak itu ada berbagai macam cara dan sarana. Bisa lewat buku, film dokumenter, tv, dan internet. Namun, jika sekiranya hal tersebut bisa dilakukan di dunia yang sebenarnya, akan lebih tepat jika mengajaknya langsung ke lapangan. Dengan melihat dan mengamati secara langsung, anak-anak akan mudah mendapatkan gambaran secara utuh. Kita bisa mengajak ke kebun binatang, kebun raya, danau, museum, dan lain-lain.
Minggu kemarin (21/1), saya mengajak keluarga mengunjungi Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu. Awalnya, karena anak saya ingin tahu seperti apa aktivitas gunung api. Rasa ingin tahu tersebut muncul setelah melihat tayangan tentang gunung api di saluran BBC Earth. Menjawab keingin-tahuan itulah, saya melakukan perjalanan menuju kesana.
Legenda Tangkuban Parahu
Menurut legenda tersebut, Sangkuriang jatuh hati dan ingin menikahi Dayang Sumbi, yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Menyadari kekerasan hati sang anak, Dayang Sumbi akhirnya mengajukan sebuah permintaan sebagai syarat jika ingin menikahinya. Sangkuriang diminta untuk membuat sebuah telaga dan sekaligus perahu yang harus selesai dalam satu malam. Sangkuriang menuruti permintaan tersebut. Namun sayang ketika fajar merekah, telaga belum jadi. Oleh karena kemarahan atas kegagalannya, Sangkuriang pun menendang perahu yang sudah jadi hingga jatuh dalam posisi terbalik. Perahu yang terbalik itulah yang  konon akhirnya menjadi gunung Tangkuban Perahu.Â
Tangkuban Perahu merupakan gunung aktif berbentuk stratovolkano. Aktivitas gunung api ini tidak seaktif gunung Merapi di Jogja. Terakhir letusan terjadi pada tahun 2013. Saat itu, tempat wisata ini ditutup untuk masyarakat umum.
Tangkuban Perahu mempunyai kawah aktif. Ada 3 kawah yang dikenal oleh wisatawan, yaitu kawah Ratu, kawah Domas (harus trekking untuk menuju kesana) dan kawah Upas (akses kesana sudah ditutup). Dari ketiganya, kawah terbesar adalah kawah Ratu yang berupa cekungan besar dengan kedalaman kurang lebih 500 meter.
Kawah Ratu
Pertama kali saya berkunjung kesini di tahun 2008. Setelah 10 tahun tentu saja banyak yang berubah. Apalagi pasca letusan tahun 2013, sudah dilakukan banyak perbaikan dan renovasi. Yang terlihat berbeda adalah pagar dan tangga di sekeliling kawah Ratu. Pagar sekeliling kawah dibuat dari batu semen yang dicat menyerupai batang pohon. Alur pendakian sudah berupa tangga yang mudah untuk didaki.
Ketika turun dari mobil, bau gas belerang  (H2S) serasa menusuk. Untungnya saya sudah membeli masker sekali pakai. Cuaca hari itu bersahabat. Tidak hujan dan tidak berkabut. Pun tidak panas terik. Karenanya, saya bisa mengajak anak saya melihat dengan jelas kawah Ratu. Saat itu kawah hanya mengeluarkan asap belerang kecil. Itupun letaknya jauh di dasar.  Asapnya berwarna putih.
Semakin berjalan menyusuri bibir kawah dari ujung ke ujung, saya jadi sadar bahwa kawah Ratu sudah bersolek mengikuti jaman. Meskipun pengunjung banyak, namun tak sampai berebut atau antri berfoto. Banyak spot-spot cantik untuk berfoto. Jika dulu hanya ada satu papan nama yang wajib untuk berfoto, sekarang ada beberapa.
Pada saat menaiki tangga menuju ujung kawah sebelah kiri, saya melihat di pinggir-pinggir kawah terdapat pohon kecil dengan pucuk merah-ungu. Waktu melihatnya, saya mengira pohon itu seperti tanaman pucuk merah yang biasa ditanam di taman-taman kota.
Pohon-pohon kecil tersebut terlihat rapi dan berjajar dibalik pagar kawah dengan jarak yang tidak jauh. Karena penasaran, saya bertanya kepada bapak-bapak pedagang yang ada. Apakah pohon-pohon ini sengaja ditanam. Beliau tertawa kecil dan mengatakan : tidak! Kemudian menjelaskan bahwa pohon-pohon ini tumbuh dengan sendirinya. Pucuk daun yang muda bisa dibuat lalapan. Beliaupun mengambil daun pucuk merah tersebut dan mencontohkan dengan memakannya. Akhirnya saya mencoba meraba daunnya. Ternyata daun tersebut lebih tebal. Berbeda dengan pucuk merah yang ada di dataran rendah.
Cantigi merupakan tumbuhan khas daerah pegunungan, utamanya daerah kawah. Daunnya tetap hijau sepanjang waktu. Tanaman ini tahan terhadap berbagai cuaca dan musim yang berganti. Terpaan kabut, badai, hujan, Â panas, ataupun dingin tak menggoyahkan pohon ini untuk tetap tegak berdiri. Katanya, akarnya mencengkeram kuat ke bumi. Sayang, kemarin pohon ini belum berbunga dan berbuah.Â
Hmmm... dengan  jalan-jalan ke Tangkuban Perahu, saya jadi tahu kawah Ratu dan pohon cantigi merah-ungu. Saya banyak belajar bersama anak saya. Semakin siang, semakin banyak pengunjung yang datang. Setelah cukup puas, kami pun memutuskan untuk pulang.
Di dalam mobil, anak saya bilang hari ini  sangat menyenangkan.  Mobil menuruni jalan gunung, meninggalkan salah satu alam eksotis Indonesia. Melihat pohon pinus di kiri-kanan, juga bunga torempet yang berderet-deret, ingatan saya masih tertambat pada pohon cantigi.  Dia tetap cantik berdiri, seolah tetap berpengharapan meski sudah di tempat yang tinggi sekalipun. Setelah saya renungkan, kok saya jadi berharap hidup bisa seperti pohon cantigi  merah-ungu. Hidup bukan hanya berusaha menjadi seseorang yang "kece-badai", tapi juga seseorang yang "tahan badai" (kehidupan) dan bermanfaat !
(RR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H