Mohon tunggu...
Diah Shanti Utaminingtiyas
Diah Shanti Utaminingtiyas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menyukai dunia anak-anak, Parenting, Teknologi

saya menyukai dunia anak-anak, Parenting, dan Teknologi. Yuk kenalan di Ig @mamaaghnia

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bila Esok Ibu Tiada

15 Desember 2024   07:53 Diperbarui: 15 Desember 2024   07:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber: koleksi pribadi)

            Sebenarnya, saya belum ada keinginan untuk menonton film di bioskop. Sebab merasa belum ada penayangan film yang menarik hatiku. Namun, yang terjadi adalah saya berubah pikiran karena minggu lalu kebetulan sekali saya mengikuti workshop penulisan novel yang mana Mbak Nuy Nagiga sebagai pematerinya (penulis novel Bila Esok Ibu Tiada).

           Sekali lagi mantra 'sayang' ini yang saya pakai. 'Sayang' kalau nggak ikut workshop karena gratis. Selain itu juga peserta bisa mengirim sinopsis ke Mbak Nuy yang nantinya akan di kurasi oleh beliau. Sebab workshop inilah saya akhirnya jadi penasaran seperti apa jalan cerita novel 'Bila Esok Ibu Tiada'. Workshop semi promo ini memang berhasil memikat hati peserta. Menurut saya tidak ada salahnya, sih. Benefit yang saya dapat tetap lebih banyak. Ngangsu ilmu dari Mbak Nuy Nagiga lebih istimewa.  

            Hal ini lantas tidak serta-merta membuat saya berangkat menonton film 'Bila Esok Ibu Tiada'. Jadi, saya sempat bingung. Lebih baik saya membeli novelnya atau menonton filmnya? Galau banget guys karena selain alasan itu, saya juga nggak mau keluar budget dua kali. Harus hemat ya ... harus pilih salah satu, haha.

            Akhirnya kuputuskan memilih menonton filmnya! Apa pertimbangannya? Kayaknya saya perlu me time yang bisa membuat saya menangis pecah dan bebas. Dan film seperti ini pasti akan membuat saya menangis sampai ingus mbeler (Ups). Tapi apa yang terjadi? SAYA TELAT 20 MENIT. Masuk studio sudah part konflik pertama dimulai. Jujur, saya merasa beruntung karena telat. Ternyata cerita 20 menit pertama itu adalah cerita tentang kematian suami sang Ibu, Bapaknya anak-anak. Dan saya memang belum kuat hati untuk menonton adegan-adegan seperti itu karena hal pribadi.

            Di sini saya hanya akan mereview cerita secara umum dan akan lebih membahas seputar pengalamanku saat menonton film ini. Saya baru masuk studio ketika adegan anak mbarep, Ranika menelfon satu per satu adiknya bahwa Mama ulang tahun. Namun, semua terlupa termasuk Ranika sendiri. Ia pun sebenarnya baru tahu ketika diingatkan tantenya. Hanya Rania (anak ketiga) yang mengingat hari spesial mamanya. Tapi saudara-saudara lainnya merasa sebal sama Rania. Kalau ingat dan sempat beli kado, mengapa tidak memberi tahu saudara-saudara lainnya? Rania tampak egois di mata saudara-saudaranya.

            Konflik-konflik antar saudara ini terus berlanjut meskipun sebenarnya hanya hal-hal sepele. Hubungan kakak beradik yang kurang harmonis ditunjukkan penulis dari cara mereka berbicara satu sama lain. Bicara apa adanya tanpa ada basa-basi.

            Kakak mbarep yang diperankan Adinia Wirasti adalah tokoh yang paling mencuri perhatian saya. Saya terpukau bagaimana penulis maupun sutradara membangun karakternya begitu menonjol. Dia suka mengatur adik-adiknya yang tampak dari gestur dengan suka menunjuk-nunjuk serta nada bicaranya yang 'cekak' dan ketus.

            Satu peran yang jadi musuh Kakak mbarep (Ranika) yaitu Rangga (Fedi Nuril). Dia merasa sebagai satu-satunya anak lelaki dikeluarganya. Tampak Rangga itu kesal karena perannya sebagai anak lelaki di ambil alih oleh Ranika. Rangga yang sudah beristri juga tampak belum tuntas mengatasi urusan dirinya sendiri. Ia tampak tidak percaya diri karena belum berhasil dengan pekerjaannya. Alhasil, ia sangat sensitif terhadap kata demi kata yang diucapkan istrinya dan mudah tersinggung.

Sumber: Koleksi pribadi
Sumber: Koleksi pribadi

            Ada satu peran yang sebenarnya dia bukan tokoh penting, peran tante. Keberadaan tante ini seperti seutas tali yang membantu merangkai adegan per adegan dengan catatan 'saat dibutuhkan' supaya nggak bolong logika sih menurutku. Jadi, dia itu nggak penting, tapi ada pentingnya. Gimana ya, aku nggak bisa menyampaikan sederhanya. Pokoknya begitu :-D

            Cerita pun melaju adegan demi adegan yang akhirnya membuatku paham. Mengapa anak-anak itu memiliki karakter yang berbeda-beda dan terutamanya Ranika, si Kakak Mbarep. Saya sebagai penonton pun bisa memahami mengapa Ranika berwatak keras (ada sebab musababnya). Semua karena rasa tanggungjawabnya sebagai anak mbarep hingga overlapping. Dan dia menyalahkan atas kekurangan dan keburukan yang terjadi pada dirinya karena perannya dalam keluarga tersebut. Seakan-akan hal itu menjadi penghambat dirinya meraih kebahagiannya sendiri. Saya pun merasa kasihan, dan iba. Lucunya selama menonton film ini saya memposisikan diri saya sebagai Ranika. Haha, mungkin saya lebai.

             Menurut saya Ranika itu ikonik banget. Saya suka dengan baju-baju batik yang dia pakai. Terasa sangat pas. Baju-baju batiknya sederhana dan cocok dipakai pegawai kantoran sehari-hari.

            Satu lagi ya! part Mama naik kereta api menuju pekalongan untuk menjenguk makam suaminya itu juga mencuri perhatianku. Matanya menerawang ke arah pemandangan di luar jendela. Sorot matanya mengungkapkan betapa kalut isi kepalanya. Adegan seperti ini selalu mampu menampilkan perasaan kerinduan. Part yang sangat mengena saat di makam suaminya adalah ketika Mama mengucap "Aku kangen ... Aku kangen ..." adegan yang membuat sesak dadaku. Betapa aku juga dalam keadaan sepertinya (curhat).

            Sejujurnya ini juga menggugah perasaan rinduku naik Kereta Api. Aku kangen naik kereta api bersama seorang atau beberapa teman. Bercengkrama di atas kereta api sambil diskusi tipis-tipis itu asyik. Mungkin perlu kucoba naik kereta api sendiri saja. Barangkali aku bisa mendapat isnspirasi (inspirasi apapun). Dari Kertosono ke surabaya atau dari Kertosono ke Tulung agung (jalur kereta api lokal di tempat tinggalku). Berhenti sebentar di stasiun untuk kulineran lalu pulang lagi. Sepertinya perlu kucoba. Aku juga berharap bisa naik kereta api lagi bersama teman-teman. Sedang menunggu momen hal itu bisa terwujud. Aamiin.

            Inti dari novel/film ini adalah memberi gambaran kepada kita semua untuk menyayangi Ibu dan memberinya perhatian selagi kita masih punya kesempatan. Seorang Ibu adalah kunci syurga yang nyata kita miliki (pengen nangis lagi). Baiklah, demikian pengalamanku menonton film 'Bila Esok Ibu Tiada'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun