Bagian Kedua tentang  Perbukuan setelah kemerdekaan (1945-1998).
Masa ini merupakan masa kedua setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945. Penerbit Belanda hengkang dari Indonesia dan juga penerbit yang dikuasai pemerintah Jepang diambil alih oleh pemerintah Indonesia.Â
Penerbitan bumiputra mulai bertumbuh kembang hingga memasuki masa Orde Baru. Pada masa ini terdapat dua masa pemerintahan di Indonesia, yaitu pemerintahan Sukarno dan pemerintahan Soeharto.Â
Perkembangan perbukuan secara signifikan terjadi pada masa Soeharto memimpin atau disebut era Orde Baru. Pembagian submasa dengan merujuk pada pemerintahan semata-mata menunjukkan ciri kemajuan perbukuan yang tidak terlepas dari kebijakan politik perbukuan pemerintah Indonesia
Bagian Ketiga tentang Perbukuan Indonesia Baru (1999-sekarang)
Perbukuan pada masa awal feformasi, berisi tentang penerbitan buku pada masa krisis moneter, lahirnya Dewan Buku Nasional, lahirnya Badan Standar Nasional Pendidikan.
Perbukuan setelah satu dekade Reformasi, membahas tentang Lahirnya  UU sistem perbukuan, Terbentuknya Lembaga Perbukuan, Lahirnya Gerakan Literasi, Buku Indonesia di pannggung dunia, Ketika Tiga Lembaga mengurusi perbukuan,  tantangan pembajakan buku, Berita Baik Pajak perbukuan.
Tahun 2017 menjadi tonggak bersejarah bagi dunia perbukuan di Indonesia ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) telah mendapat amanat menjadi induk dari dunia perbukuan di Indonesia
Buku ini juga dilengkapi dengan Prolog yang berjudul Budaya buku pendiri bangsa berisi tentang melacak jejak sejarah perbukuan Indonesia, periodisasi sejarah perbukuan, dan inisiatif pusat perbukuan. Epilog yang berjudul Memintal kembali budaya buku di Indonesia, catatan akhir, dan daftar pustaka (38 rujukan).
Lebih mengasikan lagi dan menjadi bangga serta sebagai pemicu ketika membaca pada bagian Budaya buku pendiri bangsa, telah dilakukan oleh beberapa tokoh dan bahkan disebut sebagai Bibliofil (pencinta buku / penggila buku). Seperti Sukarno, Mohhamad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahri,Â
Mohammad Hatta, dalam usia 18 tahun telah menulis cerita yang dimuat di majalah Jong Sumatra sekitar tahun 1920 berjudul Namaku Hindiana Dalam pengasingannya di Boven Digul, Papua, Bung Hatta ditemani dengan buku sebanyak 16 peti, dan rutin menulis di koran Pemandangan tentang nasib orang-orang buangan. Sepanjang hayatnya, Hatta mengoleksi sekitar 10 ribu judul, menulis sebanyak 180 judul.