Jika ditinjau dari segi teori Gender menurut UNESCO, maka gender merupakan peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat dan budaya. Gender biasa diartikan sebagai jenis kelamin atau (sex), padahal gender bukanlah jenis kelamin. menurut Hassan Shadily, seorang kenamaan tokoh Sosiologi mengatakan bahwa ‘gender’ bisa diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku.
Mendasar dalam koridor teori gender, ketika kita sedang berbicara tentang gender berarti kita sedang berbicara tentang perilaku laki-laki dan perempuan, sedangkan ketika kita berbicara mengenai seksualitas, berarti kita sedang berbicara mengenai jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Judith P. Butler seorang penulis buku ”GENDER TROUBLE (FEMINISM AND THE SUBVERSION OF IDENTITY)” merujuk pada bukan hanya kondisi alamiah manusia saja. Seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sebuah konstruksi sosial. Seorang yang melakukan transseksual berarti telah ‘merubah’ kondisi alamiahnya.
Misalnya seorang pria yang merasa beridentitas feminin, mengubah jenis seksnya menjadi tubuh perempuan. Maka secara otomatis, setelah seks sebagai fakta biologis tersebut diubah menjadi yang sebaliknya, akan berdampak terhadap perubahan yang menentukan keabsahan dari individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan ketentuan the fixed rules atas seks, gender, dan orientasi seksual. Jadi, seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair (fluid), tidak alamiah, dan berubah-ubah).
Bagaimana kita harus bersikap dengan fenomena Pesantren Waria di Yogya? Ketika kita memandangnya dalam segi pemikiran gender dan seksualitas, tentu dibernarkan adanya hak seseorang untuk mengubah perilakunya atau pakaiannya karena memang koridor gender ialah adanya kebebesan untuk mengubah kontruksi sosial.
Tapi di saat kita memandang itu dari segi agama, yang dalam hal ini samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) tentu fenomena memperbolehkan atau mengumpulkan atau memberi wadah para waria untuk berkumpul ialah sesuatu tindakan yang tidak dibenarkan. Bahkan cerita mengenai Kota Sodom dan Gomora pun, pada akhirnya kote tersebut dibinasakan dengan api.
Tapi yang terjadi di Pesantren Waria di Yogyakarta, pihak pemilik pesantren merupakan hal yang wajar para waria berkumpul untuk mengaji dan belajar agama bersama. Sebab mereka juga makhluk yang percaya pada Tuhan. Dalam hal ini, jika dilihat dari segi negara Indonesia yang mengakui Tuhan dan wajib beragama, tentu hal ini boleh dibenarkan. Sebab dalam aturan UUD 1945, sudah jelas sekali bahwa setiap rakyat Indonesia dibebaskan memilih dari keenam agama yang diakui di Indonesia dan melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaannya.
Terlebih, yang terjadi di Pesantren Waria ialah Shinta sebagai pemilik mengajak para waria untuk hidup lebih bangkit dan lebih kuat dalam hal spiritual kepada Tuhan. Bahkan pihak pesantren pun sering mengundang ahli fiqih dan akademis untuk mengisi acara di pesantren. Kemudian para waria di Pesantren Al Fatah mengalami tekanan mental karena pesantrennya dibubarkan.
Dari segi kebebasan berpendapat, bagaimana jika waria berkumpul bersama di pesantren karena ingin “bertobat”? Bukankah setiap orang yang beragama mengalami titik balik ketika bertobat? Hal ini dapat menjadi sebuah dasar kita menilai tentang keberadaan pesantren waria tersebut.
Pengakuan para waria yang berkumpul untuk mengaji ialah wujudnya untuk beribadah. Tentu hal ini bukan hanya terjadi di masjid. Tentu di dalam gereja pun banyak sekali umat yang menjadi LGBT. Tapi jika dilihat dari segi pertobatan, tentu sikap mereka tetap saja tidak bisa dibenarkan secara agama. Arti dari tobat ialah menyesali dan menggantinya menjadi yang lebih baik. Jika para waria beribadah dengan catatan agar bertobat tentu adanya perkembangan untuk menjadi normal kembali seperti seksualitas yang dimiliki masing-masing.
Tapi faktanya para waria tetap saja beribadah dengan pakaian muslim wanita? Tentu perpektif gender dan agama tidak bisa disatukan. Indonesia mengakui adanya dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan yang seharusnya memiliki perilaku sesuai dengan jenis kelaminnya. Tapi faktanya mereka berubah demikian karena adanya tekanan mental dari keluarga atau mereka bagian dari korban pelaku LGBT.
Permenungan: Agama dan Gender Ada Pandangannya Masing-masing