Lain halnya dengan ulok. Ulok ialah satu gerak yang bersubstansi pada pikiran licik. Adalah penguasa  yang tidak sama sekali mau melakukan kewajibannya. Nah kewajiban orang ulok itu nantinya akan dikerjakan oleh orang lain dan tentu saja harus menguntungkan. Bahkan sekedar mencuci kaki harus dilakukan pula oleh orang lain yang tentu saja sudah terpedaya. Tak peduli pada keadilan, kemanusiaan, baik-buruk perbuatan dan lain sebagainya.
Memang sekilas terlihat agak rumit. Bagaimana cara datu ulok membuat kewajibannya dikerjakan oleh orang lain sekaligus bisa menghasilkan keuntungan? Ini pertanyaan sekaligus jawaban. Sebab, sepanjang peradaban manusia, setiap penguasa berperangai rakus selalu mempunyai akses kelicikan multifungsi.
Maka orang Bajo yang memahami fenomena itu lantas menentang habis-habisan datu ma ulok. Satu-satunya cara untuk tidak terseret menjadi budak datu ma ulok ialah dengan melancarkan gerak malas.
Sebetulnya Orang Bajo tidak sekedar keluar dari definisi umum mengenai kata malas. Mereka bahkan mengubah fungsi gerak malas sebagai perlawanan kepada datu-datu ma ulok.
Malah gerak malas itulah yang pernah menuntun orang Bajo tiba pada ide-ide. Mulai dari ide pembuatan soppek atau perahu khas Bajo, sampai pada gerak dalam pelayaran.
Sewaktu-waktu, soppek yang dirancang bakal berfungsi pula sebagai tempat tinggal mereka. Rumah yang setia menemani orang Bajo berlayar.
Pergi meninggalkan puncak-puncak gunung. Menjauh dari landasan-landasan pantai. Bergerak dari satu pulau ke pulau yang lain.
Seolah alergi dengan daratan yang dikuasai datu-datu ma ulok. Tabe!
Mekko 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H