Orang lain memahami kata malas dengan artian "tidak berniat dan atau tidak sama sekali mau melakukan sesuatu". Akibatnya, kata malas jatuh pada nilai  negatif. Maka tak jarang bagi orang malas dipersepsikan secara umum sebagai orang yang tidak baik.
Tapi orang Bajo di Dusun Mekko (selanjutnya ditulis Orang Bajo) tidak mau menelan mentah-mentah persepsi umum itu. Malah dengan sengaja mereka masukkan kata malas ke dalam bahasa Bajo. Maka di waktu yang bersamaan, terjadi reduksi kata ke budaya secara besar-besaran.
Ini artinya, orang Bajo telah menciptakan definisi khusus dari kata malas. Mulai dari arti, nilai kata, hingga jenis moral dalam sifat malas, berlaku berdasarkan pemikiran Bajo.
Bukan tanpa alasan pendefinisian khusus itu dilakukan. Semua tahu bahwa, arti kata yang merepresentasikan suatu gerak tidak terjadi secara ajaib. Definisi kata malas yang berkembang secara umum memang didesain oleh pihak-pihak tertentu di masa lalu.
Entah kebetulan, entah tidak, Bajo memang kritis dalam mengamati gerak demi gerak. Tak hanya gerak benda langit yang sering menjadi kompas orang Bajo dalam pelayaran. Mereka juga mempelajari gerak makhluk yang ada di darat maupun lautan termasuk gerak-gerik manusia.
Nah, gerak manusia, menurut pandangan Bajo, selalu bersubstansi pada pikiran. Semua anggota tubuh manusia mempunyai pikiran yang terkoneksi langsung dengan otak. Maka untuk memberi makna pada suatu gerak harus dimulai sudah sejak dari pikiran.
Sejarah menunjukkan satu-satunya orang malas ialah dia  yang tidak mau melakukan suatu gerak. Gerak yang dimaksud di sini ialah gerak yang disukai penguasa. Suatu gerak yang tak lain dan tak bukan ialah kerja yang menguntungkan penguasa.
Dengan begitu, penguasa di zaman dulu memang telah mendesain definisi kata malas sedemikian rupa. Mulai dari arti kata, nilai sifat malas, sampai pada jenis moral setiap pemalas. Ini terjadi jauh sebelum salah satu laki-laki Bajo beristrikan ratu di kerajaan pulau Sulawesi (1320-an M).
Memang tak bisa dipungkiri, masa sebelum itu keterkecohan manusia terjadi hampir di semua belahan dunia. Kebenaran terbesar harus bersumber dari mulut penguasa yang terhormat. Sehingga, ketika penguasa mengatakan "malas adalah perbuatan buruk", orang-orang pun mempercayainya sebagai suatu kebenaran.
Ini layak dianggap sebagai politisasi kata malas yang dilakukan oleh penguasa demi kepentingan pribadinya. Nah, penguasa-penguasa bersangkutan disebut oleh orang Bajo sebagai datu ma ulok. Datu artinya penguasa. Sedangkan ma ulok hampir berpadanan dengan gabungan kata yang lalai.
Namun, yang membedakan antara ulok dan lalai ialah faktor sengaja dan tidak sengaja pada subjek. Lalai dalam pemahaman umum dimaknai sebagai suatu perbuatan yang disengaja dan bisa juga tak disengaja.