Mohon tunggu...
Malinda Sembiring
Malinda Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Nothing is impossible because anything is possible if you believe

PhD Student in Sustainability Accounting at The University of Auckland| Lecturer| Ig/twitter @mssembiring_

Selanjutnya

Tutup

Money

Karut-Marut WTP Laporan Keuangan Pemerintah Daerah  

4 September 2015   11:11 Diperbarui: 4 April 2017   18:27 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Wajar tanpa Pengecualian/google image"][/caption]

Menurut Sukrisno Agoes (2012), dengan pendapat wajar tanpa pengecualian auditor menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas suatu entitas sesuai dengan SAK/ETAP/IFRS.

Hal sama juga berlaku bagi laporan keuangan pemerintah daerah yang harus sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran (LRA), neraca, dan catatan atas laporan keuangan (CaLK) berbasis kas menuju akrual sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2005. Pendapat WTP diperoleh setelah menyelesaikan seluruh program kerja pemerintah daerah yang sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan. Hasil usaha pemerintah daerah yang telah sesuai dengan apa yang nyatanya, kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan keuangan sesuai dengan SAP.

Laporan keuangan yang dinyatakan WTP berarti telah dapat terjamin bahwa penyusunan pelaporan dan bukti-bukti cukup memadai sehingga auditor dalam hal ini BPK mantap menyatakan pendapatnya atas LKPD. WTP juga berarti kewajaran laporan keuangan dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun kemungkinan terdapat kesalahan, hal ini tidak dianggap material sehingga tak berpengaruh pada kewajaran penyajian laporan keuangan. Selama kurun waktu lima tahun terhitung 2009-2013, LKPD yang mendapatkan pendapat WTP terus bertambah. Pada 2009 dari 504 LKPD yang diperiksa BPK, hanya tiga persen mendapatkan pendapat WTP. Peningkatan perbaikan LKPD mulai terlihat pada 2010 dengan didapatkannya pendapat WTP oleh 32 LKPD dari total 522 yang diperiksa. Pertumbuhan pesat terjadi pada 2011-2013  yang rata-rata naik lebih dari 100 persen tiap tahun. Hal ini diharapkan akan terus bertambah pada 2014 dan 2015, apa lagi terhitung 2015, seluruh LKPD diwajibkan menggunakan SAP berbasis akrual sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010.

Walaupun terjadi peningkatan jumlah LKPD yang mendapat opini WTP, namun persentasenya masih rendah yakni di bawah 30%. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran pemerintah daerah untuk memperbaiki kinerjanya dan mematuhi aturan yang berlaku.

WTP Tidak Mencerminkan Kinerja LKPD

Tingkat kewajaran laporan keuangan yang masih rendah di Indonesia, nyatanya tak menjamin pendapat WTP yang didapatkan segelintir LKPD membebaskan mereka dari korupsi atau inefisiensi dalam hal kinerja dan pengalokasian keuangan daerah.

Beberapa LKPD yang mendapatkan pendapat WTP misalnya, disinyalir mengalokasikan dana yang dimiliki dengan tidak bijak. Kabupaten Simalungun yang memeroleh pendapat WTP untuk LKPD 2011, nyatanya terbelit kesalahan pengurusan keuangan. Seperti data yang dikutip dari Majalah Gatra Edisi 39, 1 Agustus 2013 lalu, sebagian besar utang yang membelit Kabupaten Simalungun merupakan akumulasi beban utang sejak bertahun-tahun lalu. Memasuki tahun 2010, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun diwarisi utang Rp50 miliar kepada pemerintah pusat dan sejumlah instansi lain, termasuk badan usaha milik negara (BUMN).

Utang itu, antara lain, utang pengembangan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtalihou sebesar Rp 26 miliar melalui Kementerian Keuangan yang belum dibayar sejak tahun 1994. Selain itu, ada utang premi pembayaran kepada PT Askes periode 2004-2010 sekitar Rp 24 miliar (belakangan hingga tahun 2012, kabarnya, nilai utang ini membengkak hingga Rp 40,6 miliar). Pada tahun 2013 ini, ada lagi beban utang berjalan ke Bulog Pematangsiantar untuk kebutuhan beras bagi rakyat miskin (raskin) sebesar Rp 4 miliar.

Besarnya beban utang Kabupaten Simalungun itu terjadi lantaran pengelolaan keuangan daerah yang salah arah. Penggunaan dana yang tidak efektif, boros, dan tidak sesuai dengan peruntukannya menjadi penyebab utama tingginya beban utang tersebut. Hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemkab Simalungun tahun 2012 oleh Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan, ditemukan beberapa kasus ketidakpatuhan aparatur negara di pemkab itu terhadap peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan keuangan negara.

Kasus itu, antara lain, belum adanya laporan pertanggungjawaban penerimaan dana hibah Rp 3,2 miliar dan bantuan sosial Rp 900 juta. Ada pula kasus kekurangan volume pekerjaan pada tujuh paket kegiatan di Dinas Tata Ruang dan Permukiman sebesar Rp 503 juta. Ironisnya, meski pelaksanaan pekerjaan 13 kegiatan terlambat dilaksanakan, pihak dinas tidak mengenakan denda keterlambatan terhadap pelaksana pekerjaan, sehingga daerah kehilangan potensi pendapatan Rp 517 juta lebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun