[caption caption="Pajak vs Zakat/google image"][/caption]
Masalah pajak masih terus terjadi hingga saat ini. Apakah seputar rendahnya kemauan masyarakat wajib pajak dan badan wajib pajak untuk melaporkan penghasilan, maupun rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap pengelola pajak. Permasalahan lain pun timbul, tatkala seorang wajib pajak juga terikat dengan kewajiban zakat. Tak jarang hal ini menimbulkan perdebatan panjang yang berujung kelesuan wajib pajak untuk menunaikan kewajiban terhadap negara. Pajak dan zakat pun terus diperbandingkan dan dikaji banyak pihak, sebagian menyatakan pajak dan zakat harus dilaksanakan karena menyangkut kewajiban terhadap negara dan agama. Pihak lain menyatakan pajak saja sudah cukup.
Kesadaran masyarakat yang rendah untuk membayar pajak memang tak lantas bisa diubah dengan aturan-aturan yang ditetapkan direktorat jenderal pajak. Perlu pemahaman dan tindakan solutif yang tidak memberatkan wajib pajak maupun pemerintah sebagai pihak yang hidup dengan pajak yang dibayarkan masyarakat. Menarik ketika kita memasukkan unsur zakat sebagai umpan penyemangat wajib pajak karena umumnya masyarakat lebih nyaman menjalankan kewajiban agama dibandingkan aturan negara.
Menilik presentasi kaum muslimin di Indonesia yang sangat besar, mereposisi kesadaran wajib pajak lewat wajib zakat sangat memungkinkan untuk dilakukan. Apa lagi banyak masyarakat awam yang sering salah kaprah dan merasa dirugikan akibat kewajiban ganda membayar pajak dan zakat.
Sebelum berbicara lebih dalam mengenai bagaimana mereposisi kesadaran wajib pajak, ada baiknya kita membahas secara harfiah mengenai pajak dan zakat serta bagaimana keduanya dapat saling dikaitkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pajak.
Pajak sebagai salah satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh masyarakat atau badan berstatus wajib pajak memiliki beberapa definisi. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara etimologi, dalam Pajak Menurut Syariah oleh Gusfahmi, pajak dalam bahasa arab disebut dengan istilah dharibah yang berasal dari kata dasar dharaba, yadhribu, dharban yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, atau membebankan.
Penyebutan dharibah menunjukkan pajak sebagai beban tambahan setelah adanya zakat. Dharibah di sini berfungsi sebagai sumber baru yang pemanfaatannya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena kebutuhan tersebut tak dapat diambil dari sumber lain seperti zakat yang sudah diatur siapa yang berhak mendapatkannya.
Sementara itu, zakat berasal dari kata zaka, berarti tumbuh yang subur. Makna lain seperti yang disebutkan dalam Alquran adalah suci dari dosa. Jika kita kaitkan dengan harta, maka harta yang dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah (Gustian Djuanda: 2006).
Secara definisi, dalam Pajak Menurut Syariah oleh Gusfahmi, Mazhab Maliki mendefinisikan zakat sebagai, “Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nisab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq)-nya. Dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.” Sedangkan Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat sebagai, “Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah SWT.”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa zakat diperuntukkan kepada mereka yang berhak menerimanya, yang dalam Alquran Surah Al-Taubah Ayat 60, dijelaskan zakat diperuntukkan bagi delapan golongan terdiri atas fakir, miskin, pengurus zakat, para Muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan. Selain delapan golongan ini, tidak boleh diberikan zakat termasuk untuk urusan perekonomian negara.
Pemahaman terhadap definisi pajak dan zakat sebenarnya sudah dapat mengerucutkan peran zakat terhadap pajak. Zakat merupakan kewajiban dari Allah SWT kepada kaum muslimin, sementara pajak merupakan kewajiban dari pemerintah bagi seluruh warga negara.
Kedudukan Zakat Terhadap Pajak
Praktik pajak dan zakat yang terjadi saat ini telah mengakibatkan penggandaan pengeluaran yang harus disisihkan dari penghasilan. Lantas muncul istilah dualisme zakat dan pajak. Hal ini terjadi seiring dengan seorang wajib pajak juga merupakan seorang wajib zakat (muzzaki). Dualisme tentu berakibat pada pemungutan dua kali dari penghasilan yang didapatkan.
Dualisme ini diperkuat dengan adanya dua Undang-Undang yang mengatur perihal wajib pajak dan muzzaki. Kewajiban pajak tertuang dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), sementara kewajiban zakat tercantum dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Pada kedua UU tersebut dinyatakan dengan jelas pajak dan zakat adalah kewajiban. Penghasilan wajib dikenakan PPh dan zakat profesi.
Beban lain yang harus dipikul seorang Wajib Pajak adalah PPN atas konsumsi segala barang dan jasa. Pajak ini tentu dibayarkan dengan penghasilan yang sudah dikenai PPh. Ditambah pula dengan adanya PBB untuk bangunan yang ditinggali, tanah, dan asset tak bergerak lainnya yang pembayarannya juga menggunakan penghasilan. Hal ini tentu menjadi beban ganda bagi para wajib pajak yang juga dikenai wajib zakat.
Menyoal dualisme zakat dan pajak, tindakan yang dapat dilakukan adalah menjadikan zakat sebagai pengurang penghasilan pajak. Hal ini mungkin dilakukan mengingat subjek zakat dan pajak adalah sama, yaitu kaum muslimin. Selain itu, objek zakat dan pajak relatif sama, yakni penghasilan.
Kedudukan zakat terhadap pajak sebagai pengurang pajak sebenarnya dapat diupayakan dengan mengemukakan alasan-alasan fiskal seperti zakat sebagai pengurang (kredit) pajak disamakan statusnya dengan pajak terutang di luar negeri (Pasal 24 UU PPh). Zakat dapat pula dijadikan sebagai kredit pajak yang disamakan statusnya seperti fiskal luar negeri. Lalu, kita juga bisa mencontoh Malaysia yang sejak revisi aturan perpajakannya pada 2006, telah memasukkan zakat sebagai diskon atau pengurang terhadap pajak penghasilan yang terutang.
Konsep Pajak Menurut Sistem Ekonomi Islam
Ketika zakat telah menjadi pengurang pajak penghasilan, aturan mengenai konsep pajak yang ideal perlu diciptakan. Pajak termasuk komponen pendapatan (penerimaan) negara, yang merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Walaupun dalam pengelolaan kebutuhan negara terdapat kebijakan moneter, kebijakan fiskal memegang peranan penting karena adanya kewajiban mengeluarkan zakat dan pajak.
Lalu muncul kembali pertanyaan, bagaimana sebenarnya memperbaiki dan meluruskan kembali konsep pajak? Menurut Gusfahmi dalam bukunya berjudul Pajak Menurut Syariah, terdapat prinsip yang harus ditaati oleh ulil amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara (dalam hal ini pajak).
Pertama, harus ada nash yang memerintahnya. Penerimaan negara yang dikutip dari masyarakat harus jelas hukum yang memerintahnya, dalam sistem ekonomi islam nash yang dimaksud adalah Alquran dan Hadis.
Kedua, harus ada pemisahan muslim dan non-muslim. Subjek zakat dan pajak muslim dengan non muslim harus dibedakan. Zakat hanya bersumber dari kaum muslim dan dimanfaatkan untuk kepentingan kaum muslim. Sementara pajak dibayarkan baik oleh seluruh masyarakat.
Ketiga, hanya golongan kaya yang menanggung beban. Hal ini dimaksudkan agar golongan yang mempunyai kelebihan memikul beban utama. Orang kaya yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kekayaan melebihi kebutuhannya bukan melebihi keinginan atau nafsu.
Terakhir, adanya tuntutan kemaslahan umum. Prinsip ini adalah yang paling sering menjadi alasan pemungutan pajak. Dalam keadaan tertentu, ulil amri wajib mengadakan kebutuhan masyarakat, di saat ada atau tidaknya harta. Tanpa pemenuhan kebutuhan ini, besar kemungkinan akan datang kemudharatan yang lebih besar lagi. Atas dasar tuntutan ini, negara boleh mengadakan suatu jenis pendapatan tambahan atau lazim disebut pajak.
Kedudukan ideal zakat terhadap pajak dapat dilihat ketika zakat dijadikan sebagai pengurang penghasilan pajak. Hal ini dapat dilakukan mengingat subjek zakat dan pajak adalah sama, yaitu kaum muslimin. Selain itu, objek zakat dan pajak relatif sama, yakni penghasilan.
Zakat selayaknya dibayarkan pada saat penghasilan diterima. Jika pemerintah menetapkan kedudukan zakat sebagai pengurang kredit pajak seperti yang dilakukan Malaysia, maka unsur zakat akan dimasukkan ke bagian kredit pajak. Zakat akan menjadi pengurang pajak terutang bersama dengan pajak penghasilan yang dipotong atau dihimpun pihak lain, pajak penghasilan yang dipotong di luar negeri, pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah, dan pajak penghasilan yang dibayar sendiri oleh wajib pajak.
Keberadaan zakat dan pajak sudah seharusnya tidak membebankan masyarakat namun juga tak mengurangi kemampuan negara untuk membiayai kebutuhan masyarakat. Pengelolaan zakat sebagai pengurang pajak terutang tentu akan menggairahkan terutama bagi umat islam karena dapat menjalankan kewajiban agama dan negara sekaligus tanpa merasa dirugikan. Pemerintah pun dapat diuntungkan lewat meningkatnya kesadaran dan kemauan wajib pajak untuk melaporkan kewajibannya karena sudah menjadi bagian dari menjalankan ibadah. Dengan ini, cita-cita mereposisi kesadaran wajib pajak dapat terwujud.
*Artikel ini pernah dimuat pada laman Komunitas Pandu Pajak Indonesia pada Desember 2013-Januari 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI