Lalu muncul kembali pertanyaan, bagaimana sebenarnya memperbaiki dan meluruskan kembali konsep pajak? Menurut Gusfahmi dalam bukunya berjudul Pajak Menurut Syariah, terdapat prinsip yang harus ditaati oleh ulil amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara (dalam hal ini pajak).
Pertama, harus ada nash yang memerintahnya. Penerimaan negara yang dikutip dari masyarakat harus jelas hukum yang memerintahnya, dalam sistem ekonomi islam nash yang dimaksud adalah Alquran dan Hadis.
Kedua, harus ada pemisahan muslim dan non-muslim. Subjek zakat dan pajak muslim dengan non muslim harus dibedakan. Zakat hanya bersumber dari kaum muslim dan dimanfaatkan untuk kepentingan kaum muslim. Sementara pajak dibayarkan baik oleh seluruh masyarakat.
Ketiga, hanya golongan kaya yang menanggung beban. Hal ini dimaksudkan agar golongan yang mempunyai kelebihan memikul beban utama. Orang kaya yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kekayaan melebihi kebutuhannya bukan melebihi keinginan atau nafsu.
Terakhir, adanya tuntutan kemaslahan umum. Prinsip ini adalah yang paling sering menjadi alasan pemungutan pajak. Dalam keadaan tertentu, ulil amri wajib mengadakan kebutuhan masyarakat, di saat ada atau tidaknya harta. Tanpa pemenuhan kebutuhan ini, besar kemungkinan akan datang kemudharatan yang lebih besar lagi. Atas dasar tuntutan ini, negara boleh mengadakan suatu jenis pendapatan tambahan atau lazim disebut pajak.
Kedudukan ideal zakat terhadap pajak dapat dilihat ketika zakat dijadikan sebagai pengurang penghasilan pajak. Hal ini dapat dilakukan mengingat subjek zakat dan pajak adalah sama, yaitu kaum muslimin. Selain itu, objek zakat dan pajak relatif sama, yakni penghasilan.
Zakat selayaknya dibayarkan pada saat penghasilan diterima. Jika pemerintah menetapkan kedudukan zakat sebagai pengurang kredit pajak seperti yang dilakukan Malaysia, maka unsur zakat akan dimasukkan ke bagian kredit pajak. Zakat akan menjadi pengurang pajak terutang bersama dengan pajak penghasilan yang dipotong atau dihimpun pihak lain, pajak penghasilan yang dipotong di luar negeri, pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah, dan pajak penghasilan yang dibayar sendiri oleh wajib pajak.
Keberadaan zakat dan pajak sudah seharusnya tidak membebankan masyarakat namun juga tak mengurangi kemampuan negara untuk membiayai kebutuhan masyarakat. Pengelolaan zakat sebagai pengurang pajak terutang tentu akan menggairahkan terutama bagi umat islam karena dapat menjalankan kewajiban agama dan negara sekaligus tanpa merasa dirugikan. Pemerintah pun dapat diuntungkan lewat meningkatnya kesadaran dan kemauan wajib pajak untuk melaporkan kewajibannya karena sudah menjadi bagian dari menjalankan ibadah. Dengan ini, cita-cita mereposisi kesadaran wajib pajak dapat terwujud.
Â
 *Artikel ini pernah dimuat pada laman Komunitas Pandu Pajak Indonesia pada Desember 2013-Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H