Dewasa ini kita pasti sering mendengar istilah politik identitas. Di Indonesia Istilah ini sangat populer terlebih dikalangan orang-orang yang mengikuti perkembangan isu-isu politik.
Menurut Wingarta, I. P., Helmy, B., Hartono, D., Mertadana, I. W., & Wicaksono, R. (2021: 2) politik identitas pada awalnya muncul padatahun 1970-an di Amerika Serikat untuk tuntutanperjuangan minoritas, gender, ras yang merasaterpinggirkan.Â
Dalam sejarah manusia digerakkanoleh perjuangan untuk pengakuan. Satu-satunyasolusi rasional untuk hasrat akan pengakuanuniversal ketika martabat setiap manusia dihargai.
Adanya pengakuan universal ini mendapatkantantangan lewat bentuk-bentuk pengakuan parsiallain berdasarkan bangsa, agama, sekte, ras, etnis,jenis kelamin, atau individu yang ingin diakuisebagai superior.
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa politik identitas mengacu pada agama, suku, kedaerahan dan identitas lain. Yang menjadi pertanyaan adalah sebenarnya bolehkah politik identitas tersebut?
Dalam kaitannya dengan perpolitikan seorang calon pemimpin umumnya akan menggaet dukungan dari apa yang menjadi identitasnya. Kita ambil contoh apabila seorang calon presiden berasal dari suatu organisasi besar pastilah ia akan berusaha untuk mendapatkan dukungan dari massa organisasi tersebut.
Begitu juga seseorang ketika memilih calon presiden. Umumnya ia akan memilih seorang calon yang mempunyai kesamaan identitas dengannya, seperti kesamaan suku, agama, kesamaan daerah dan lain-lain.
Lantas apakah hal tersebut diperbolehkan?
Sejak muncul isu agama ketika pilkada DKI 2017 pemerintah mulai gencar menyuarakan perlawanan terhadap politik identitas. Menurut pemerintah politik identitas dapat mengganggu kestabilan politik dan memecah belah persatuan rakyat.
Tentu kebijakan tersebut mengandung kontradiksi. Karena hingga saat ini isu politik identitas yang sampai menimbulkan konflik besar hanya isu agama. Berbeda dengan isu identitas lain yang tidak pernah menimbulkan konflik besar.
Kita ambil contoh isu identitas kesukuan. Selama ini kebanyakan dari presiden berasal dari suku jawa sehingga suku-suku lain merasa dinomorduakan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa pembangunan di Indonesia terlalu jawa sentris. Sehingga rakyat yang berasal dari suku lain merasa dirugikan oleh kenyataan tersebut.
Berdasarkan fakta diatas mengapa pemerintah tidak secara langsung menyebut secara gamblang bahwa mereka ingin memerangi isu politisasi agama?
Semestinya pemerintah jangan sampai membuat kebijakan atau propaganda yang kontradiktif agar tidak terjadi kebingungan dikalangan rakyat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dibandingkan isu politik Identitas lain yang paling sensitif adalah isu politisasi agama. Kita pasti ingat bagaimana mengerikannya isu agama yang dimainkan dalam pilkada DKI tahun 2017 dan juga polarisasi yang terjadi di Indonesia pada pemilu tahun 2019. Dua momen itu menjadi bukti bahwa agama menjadi isu yang paling sensitif dan menimbulkan konflik yang sangat besar hingga mempengaruhi kestabilan politik negara dan persatuan rakyat.
Jika pemerintahan bersedia menyebut secara gamblang bahwa yang perlu diperangi adalah politisasi agama tentu problem ini akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Referensi:
Wingarta, I. P., Helmy, B., Hartono, D., Mertadana, I. W., & Wicaksono, R. (2021). Pengaruh Politik Identitas Terhadap Demokrasi di IndonesiaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H