Mohon tunggu...
Malikul Arifin
Malikul Arifin Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Suka gambar sketsa

Selanjutnya

Tutup

Book

Lebih Utama Mencari Ilmu Dibandingkan Ibadah Sunnah

23 November 2022   22:34 Diperbarui: 23 November 2022   22:50 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam buku ini kita akan diberitahukan bagaimana cara beretika dengan baik sebagai seorang guru dan juga murid.

Pembahasan mengenai etika guru (Al-Mu’allim) sangatlah luas, beberapa akan saya sebutkan sebagai berikut; etika personal guru, etika guru dalam belajar, etika guru dalam mengajar, serta tentang ujian kerelaan dalam mengajar.

Selain guru yang memiliki beberapa etika yang harus dimiliki, adapun etika sebagai seorang murid (al-muta’allim). Sebagai seorang murid hal pertama dalam etikanya yaitu menyucikan hatinya dari perkara yang dapat mencedarai kesungguh-sungguhan niatnya dalam belajar.

Yang kedua yaitu menyingkirkan segala hal yang bisa mengganggu konsentrasi dalam belajar untuk dapat ilmu pengetahuan. Hal yang ketiga yaitu seorang murid harus selalu rendah hati terhadap ilmu yang di pelajarinya, juga terhadap guru yang mengajarnya.

Ada juga etika Bersama, antara guru dan murid. Yang dimana diantaranya yaitu keduanya tidak boleh melupakan tugas dan kewajibannya masing-masing, antara guru dan murid hendaknya memiliki buku mengajar dan belajar masing masing, dan orang yang meminjam harus mengucapkan terima kasih kepada orang yang meminjaminnya karena kebaikannya.

Buku ini juga berisi tentang etika berfatwa. Dengan berfatwa kita bisa menguraikan hukum setiap fenomena-fenomena yang terjadi dimuka bumi ini secara kontekstual. Didalam fatwa ini ada begitu banyak fadhilah ilmu yang didapat.

Orang yang berfatwa (al-mufti) merupakan pewaris para nabi, ia mampu menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Ulama salaf menyatakan, “Seorang mufti merupakan wakil Allah Swt. Untuk menentukan hukum dalam setiap peristiwa yang terjadi. . 

Dalam memberi fatwa juga ada tingkatannya, tentang hal ini Abu ‘Amr mengatakn bahwa tingkatan seorang mufti itu ada dua yaitu mufti independent (al-Mufti al-Mustaqil) dan mufti yang tidak independent (al-Mufti alladzi Laisa bi Mustaqil). 

Mufti indenpenden yaitu mufti yang benar-benar menguasai tentang sumber dan dalil-dalil hukum syariat, seperti al-Qur’an,, sunnah, ijma’ dan qiyas, serta mengetahui segala hal yang berkaitan dengan keemptnya secara detail. 

Dengan demkian, ia haru benar-benar menguasai ilmu ushul fiqh. Selain menguasai lmu ushul fiqh, ia juga harus memahami tentang ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu nasikh dan masukh, ilmu ahwu, ilmu Sharaf, serta mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat dikalangn ahli hukum. 

Mufti yang tidk indenpenden yaitu fatwa yang dikeluarkan oleh para imam dalam madzhhab-madzhab fiqh karena suatu kondisi yang tidak dapat ditemuannya al-Mufti al-Mustaqil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun