Mohon tunggu...
Abd Malik
Abd Malik Mohon Tunggu... -

Aktif menulis sebagai "kontributor lepas". (lepas tanggungjawab serta lepas segala2nya) di Lembaga Kantor Berita Indonesia wilayah Jatim, dan biasa up-loud berita di antarajatim.com. Sehingga bisa dikatakan bila pekerjaanku kini sebagai "pedagang tulisan".. (Ada berita dibayar, gak ada berita ya gak bayaran..he.he.he)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Medok” Salah Satu Hasil Budaya

30 Agustus 2014   08:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:07 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Logatnya masih kelihatan medok,” kata seorang teman, dan dia pun terdiam ketika sebagian besar mata tajam teman lainnya tertuju pada dirinya. Sementara, dia pun hanya tersenyum menanggapi hal itu.

----------------------------
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata medok mempunyai dua arti, yakni  berlubang-lubang (seperti sepon dan roti) serta mempunyai unsur kekentalan dan kentara sekali aksen daerahnya.

[caption id="attachment_321552" align="aligncenter" width="223" caption="Foto : Repro Dari Google Picture"][/caption]


Di kehidupan sosial masyarakat Ibu kota, seseorang yang logatnya medok akan “merasa” dirinya sebagai orang terasing, sehingga “stereotipe” yang terbentuk bagi masyarakat Jakarta, medok adalah bagian dari daerah yang “dianggap” keterbelakangan.

Tulisan ini hanyalah sepenggal dari pengalaman penulis berada di Ibu Kota. Pengalaman yang kuanggap sangat subyektif terkait dengan kata medok, namun tidak ada salahnya jika saya tulis dan berpendapat mengenai kata “medok”.

Bagi saya pribadi, medok adalah salah satu hasil budaya Nusantara. Medok bukanlah wabil khusus ditujukan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dianggap “Jawa”.

Namun logat medok bisa berasal dari Kalimantan, Sumatera, Papua, Maluku, Bali, atau sebaliknya jika mereka datang ke Jakarta atau daerah lain.

Begitu sebaliknya, orang Kalimantan juga bisa menganggap orang Jakarta medok ketika mereka datang ke wilayah itu dengan menggunakan kata sapa “loe-loe” atau “gue-gue”.

Bahkan, mereka pun bisa menganggap orang Jakarta bagian dari keterbelakangan oleh orang Kalimantan.

Prespektif ini wajar, jika kita sama-sama menggunakan unsur obyektifitas atau keberimbangan atau keadilan penilaian masing-masing daerah.

Namun, fokus dalam tulisan ini tidaklah menuntut keadilan atau mengupas keterbelakangan.

Yang saya tekankan adalah medok bukanlah bagian dari keterbelakangan atau “ndeso”. Melainkan salah kekhasan daerah yang juga merupakan indentitas suatu daerah.

Identitas daerah wajib dihargai, karena kita mempunyai rumus “Bhineka Tunggal Ika”. Jadi, dalam formalistas rumus itu tidak ada daerah yang disebut keterbelakangan karena kemedokan.

Dan bagi seseorang yang masih mempunyai kekentalan logat daerah saat mereka hinggap ke beberapa daerah atau negara, biarkanlah. Karena itu adalah bagian dari kekayaan budaya, sehingga sepatutnyalah kita bangga dengan identitas itu dan tak perlu tuk merubahnya.

Yang terpenting, mereka dan kita paham dengan apa yang dibicarakan, sehingga ada dialektika antar budaya yang harmonis, tanpa adanya prespektif negatif dengan loga-logat mana pun.

------
“Satu bahasa, bahasa Indonesia, bukan bahasa loe-loe, gue-gue..!!
“Satu negara, negara Indonesia, bukan negara “Jakartasentris..!!
(www.malikpunya.blogspot.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun