Mohon tunggu...
A, Malik Mughni
A, Malik Mughni Mohon Tunggu... -

seorang pembelajar kehidupan, yang tengah mencari kesejatian hidup, kehidupan, dan penghidupan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gus Dur Adalah Kunci! (1)

12 Maret 2015   21:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:44 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari Gus Dur

ia telah lama tiada,

tapi banyak hal yang bisa kita ambil

dengan membacanya lagi dan lagi.

para bapak bangsa tak pernah benar-benar mati.

. -@matanajwa-

Pernyataan puitis Syarifah Najwa Syihab dalam tayangan Mata Najwa, Rabu (4/3/2015) malam, itu mengingatkan saya pada sejumlah momentum di Tanah Tabi, Papua. Tempat yang nun jauh dari Ibu Kota Negara Republik Indonesia, yang dihantui konflik tak berkesudahan itu, perlahan mengubah citranya. Berkah K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu akan terasa betul jika anda berkunjung ke sana dan berbincang dengan warga setempat, dari lintas elemen. Bahkan yang di daratan kerap berperang, seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua -Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) dan Tentara Nasional Indonesia, maupun rakyat sipil yang berkubu-kubu, sama terharunya saat mengingat nama Gus Dur.

***---***

Kongres Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Februari 2015 berjalan sukses dan mengukuhkan Muhammad Rifa’I Darus, putera Jayapura memimpin organisasi kepemudaan yang melahirkan banyak tokoh nasional tersebut. Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu tak hanya sukses menapaki kepemimpinan organisasi kepemudaan, tetapi juga ikut andil mengubah citra Papua sebagai area konflik, yang kurang nyaman dijadikan ajang perhelatan nasional.

Jauh sebelum Kongres itu berlangsung, Desember 2012 lalu, PB PMII juga pernah mengadakan kegiatan akbar yang diikuti tak kurang oleh 500 kader PMII se Nusantara. Agenda besar nasional itu memangkas isu keamanan di Jayapura yang merupakan daerah ‘merah’ karena merupakan salah satu basis OPM. Di sinilah, kebesaran nama K.H Abdurrahman Wahid kembali terbukti, ia menjadi kunci suksesnya perhelatan akbar itu.

Tanpa membawa nama Gus Dur, kegiatan yang dihelat sepekan itu memang menuai banyak tentangan. Selain mengkhawatirkan, karena diikuti oleh ratusan pemuda dari luar Papua, kondisi politik dan keamanan di Jayapura dan sekitarnya, saat itu terbilang genting. Serangkaian konflik bersenjata terjadi sepanjang Januari hingga Juli tahun itu. Para  pendukung Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Mako Tabuni Mako Tabuni yang tewas ditembak aparat kepolisian dan dimakamkan di Sentani pada Juni tahun itu sedang menanti saaat tepat untuk membalas dendam.

Belum lagi, sisa-sisa konflik Pilkada Jayapura yang dihelat Juli 2012 masih belum reda sepenuhnya. Sementara di Jakarta, wacana evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua juga sedang hangat-hangatnya. Kaukus Papua, komunitas anggota DPR RI asal Tanah Tabi itu sempat menolak keras agenda PMII di Papua saat itu. Terlebih, agenda besar itu dihelat di bulan Desember, sebuah masa yang rawan karena bertepatan dengan hari lahir Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang diabadikan sebagai bulan perayaan kemerdekaan Papua.

“Jika saja tak nekat mungkin selamanya nama Papua ditakuti dan dihindari untuk jadi tempat perhelatan tingkat Nasional, termasuk Kongres Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Februari 2015 lalu juga mungkin tak diadakan di sana. Suksesnya Muspimnas saat itu juga berkat wasilah Gus Dur,” kata Sabarudin Rery, Ketua SC Muspimnas PMII 2012.

Pernyataan Rery yang asal Maluku itu, bukanlah bualan. Engel Waly budayawan setempat, mengaku dengan suka rela mengoordinir anak-anak adat binaanya untuk menampilkan  sejumlah tarian adat dalam Festival Budaya dalam salah satu agenda Muspimnas PMII, yang digelar selama sepekan pada medio Desember 2012 lalu.

Menurut Engel, para tokoh adat di Sentani juga turut mengerahkan pasukannya untuk mengamankan kegiatan PMII yang dihelat di Hotel Sentani, Jayapura itu. Sentani menurut Engel dan sejumlah tokoh lain yang saya wawancara merupakan daerah ‘merah’  pusat konflik antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan TNI. Tak jauh dari Hotel tua yang tampak tak terawat itu kerap terjadi konflik bersenjata dan tak jarang menimbulkan korban jiwa baik dari TNI, OPM, maupun kalangan sipil biasa.

“Kalian cukup berani mengadakan kegiatan di sini. Kalau saja kalian bukan anak-anak Gus Dur, mungkin kami juga pikir-pikir untuk terlibat,” ujarnya.

Warga  Papua,  kata Engel sangat menghargai peranan K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah mengembalikan identitas kepapuaan itu. “Gus Dur memimpin dengan hati. Pluralisme yang diajarkan beliau juga kami pertahankan di sini. Maka ketika PMII  yang merupakan kader Gus Dur membuat kegiatan di sini,  kami menyambut baik kegiatan ini karena kami yakin akan memberi dampak positif bagi masyarakat lokal. Di sini kami merasa bertanggung jawab mengamankan kegiatan ini,” katanya lagi.

Sejatinya, tak hanya pasukan adat yang turut menjaga kegiatan yang diikuti 500 kader PMII se Nusantara itu. Sebab di dalam hotel, kami sering melihat hilir-mudik sejumlah orang berpakaian safari, dengan handy talky tergantung di celananya. Kami mengira mereka adalah intel. Terkadang mereka duduk-duduk berkelompok di sejumlah kursi yang tersedia di pojok-pojok hotel seluas tiga kali lapangan sepak bola itu. Di seberang hotel, terdapat pegunungan Cyclop yang sebagian sedang dieksplorasi. Naik sedikit, ada hutan dan “Pasukan adat itu berjaga di  sana,” kata Wally.

Meski terbilang sebagai daerah konflik, namun selama sepekan kami beracara di Sentani, tak satu pun berjumpa aparat bersenjata. Hanya beberapa orang tegap dan cepak memang kerap nongkrong di warung-warung kecil sekitar hotel. Sederetan bendera dan  spanduk berlogo PMII berjejer di pintu masuk hotel bersama satu baliho bergambar Gus Dur.

Konflik antar warga, kata pemuda asli Sentani itu, kerap terjadi di pinggiran perkotaan Jayapura, atau di  bagian pegunungan. Tetapi menurutnya, konflik lantaran isu keagamaan hampir tak pernah terjadi di Senati, “Mungkin karena muslim di sini banyak pengikut Gus Dur. Kami yang Kristen dan saudara kami yang masih bertahan dengan animisme pun menghargai beliau,” katanya.

Ia menyesalkan banyaknya berita perang adat di sejumlah daerah Papua,
yang imbasnya mendiskreditkan warga Papua secara keseluruhan. “Padahal
itu hanya  terjadi di sebagian daerah Papua.  Konflik itu biasanya terjadi karena isi perut, gejolak terjadi karena berebut SDA. Kenapa SDA kami diambil sementara kami malah diabaikan. Kurang perhatian. Otsus (Otonomi Khusus,red) saja, belum teraplikasikan sepenuhnya,” tandasnya.

Pergantian nama Propinsi Irian dengan  Papua, menurut Engel sangat disyukuri warga adat, karena hal itu merupakan pengembalian identitas mereka.  “Maka tak heran, jika warga Papua tak bisa melupakan Gus Dur,” imbuhnya.

Propinsi Papua terdiri dari 27 Kabupaten/Kota dengan luas 420.540 km².
warga yang terbagi dalam ratusan suku dan bahasa. Dengan dimensi geografisnya yang dikitari pegunungan dan lautan, setiap daerah di Papua sampai saat ini masih sulit dijangkau oleh alat transportasi biasa.

Dari Jayapura, menuju Kabupaten Sorong, atau Manokwari misalnya, tak  bisa ditempuh kecuali dengan pesawat atau kapal laut. Program transmigrasi yang  digulirkan sejak era Orde Baru, ditambah dengan otonomi khusus yang diterapkan tahun 2001 lalu, membuat wajah Papua agak berubah.

Engel menguraikan, masyarakat adat setempat, kini telah berbaur dengan para pendatang. Animisme yang dianut pun perlahan terkikis. Kini banyak masyarakat adat memeluk agama Islam dan Nasrani. Sebagian warga Papua masih mempertahankan tradisi asli mereka. Tak kurang daari 255 suku dengan dialek bahasa masing-masing, terdapat di Tanah Tabi. Mereka tinggal di gunung-gunung, di pedalaman Papua. Meski begitu, menurut Budayawan Sentani, Engel Wally, seluruh warga Papua, mengerti bahasa Indonesia. Di Sentani saja, yang notabene merupakan salah satu Kecamatan di
Kabupaten Jayapura, terdapat puluhan suku yang punya dialek bahasa
beragam.

“Sentani, dibagi sentani timur, tengah dan barat. Masing-masing punya bahasa masing-masing dengan dialek berbeda. Tapi semua warga Papua tahu bahasa Indonesia. Di pedalaman sekali saya tak akan bicara bahasa saya atau bahasa mereka. Tapi kami akan bicara bahasa Indonesia. Sejak tahun 30-an bahasa Indonesia masuk lewat para penduduk pendatang dan penginjil,” kata Engel.

Ia mencontohkan, sapaan Selamat Pagi, di Sentani timur adalah Renevoy. Sementara di Barat, sapaan itu berbunyi Denevoy. Dua kata tersebut, menurut Engel adalah bahasa asli Sentani, yang bukan kata serapan dari bahasa mana pun. Karenanya, bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan di Papua. “Kami banyak mendengar dan mengejanya sendiri. Sekali mendengar, pelan-pelan  akan mengikuti berbicara bahasa Indonesia. Begitu pun bahasa Inggris,” imbuhnya.

Meski saat ini warga Papua terdiri dari beragam suku, bahsa dan agama, Engel berani menjamin bahwa agama, suku dan bahasa yang berbeda itu tak membuat warga di Papua berperang. “Kami saling menghargai agama, suku dan bangsa sesama. Inilah miniature Indonesia. Siapa pemimpin yang mengerti soal itu, selain Gus Dur? ,” kata Engel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun