Propinsi Papua terdiri dari 27 Kabupaten/Kota dengan luas 420.540 km².
warga yang terbagi dalam ratusan suku dan bahasa. Dengan dimensi geografisnya yang dikitari pegunungan dan lautan, setiap daerah di Papua sampai saat ini masih sulit dijangkau oleh alat transportasi biasa.
Dari Jayapura, menuju Kabupaten Sorong, atau Manokwari misalnya, tak bisa ditempuh kecuali dengan pesawat atau kapal laut. Program transmigrasi yang digulirkan sejak era Orde Baru, ditambah dengan otonomi khusus yang diterapkan tahun 2001 lalu, membuat wajah Papua agak berubah.
Engel menguraikan, masyarakat adat setempat, kini telah berbaur dengan para pendatang. Animisme yang dianut pun perlahan terkikis. Kini banyak masyarakat adat memeluk agama Islam dan Nasrani. Sebagian warga Papua masih mempertahankan tradisi asli mereka. Tak kurang daari 255 suku dengan dialek bahasa masing-masing, terdapat di Tanah Tabi. Mereka tinggal di gunung-gunung, di pedalaman Papua. Meski begitu, menurut Budayawan Sentani, Engel Wally, seluruh warga Papua, mengerti bahasa Indonesia. Di Sentani saja, yang notabene merupakan salah satu Kecamatan di
Kabupaten Jayapura, terdapat puluhan suku yang punya dialek bahasa
beragam.
“Sentani, dibagi sentani timur, tengah dan barat. Masing-masing punya bahasa masing-masing dengan dialek berbeda. Tapi semua warga Papua tahu bahasa Indonesia. Di pedalaman sekali saya tak akan bicara bahasa saya atau bahasa mereka. Tapi kami akan bicara bahasa Indonesia. Sejak tahun 30-an bahasa Indonesia masuk lewat para penduduk pendatang dan penginjil,” kata Engel.
Ia mencontohkan, sapaan Selamat Pagi, di Sentani timur adalah Renevoy. Sementara di Barat, sapaan itu berbunyi Denevoy. Dua kata tersebut, menurut Engel adalah bahasa asli Sentani, yang bukan kata serapan dari bahasa mana pun. Karenanya, bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan di Papua. “Kami banyak mendengar dan mengejanya sendiri. Sekali mendengar, pelan-pelan akan mengikuti berbicara bahasa Indonesia. Begitu pun bahasa Inggris,” imbuhnya.
Meski saat ini warga Papua terdiri dari beragam suku, bahsa dan agama, Engel berani menjamin bahwa agama, suku dan bahasa yang berbeda itu tak membuat warga di Papua berperang. “Kami saling menghargai agama, suku dan bangsa sesama. Inilah miniature Indonesia. Siapa pemimpin yang mengerti soal itu, selain Gus Dur? ,” kata Engel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H