Belum lagi, sisa-sisa konflik Pilkada Jayapura yang dihelat Juli 2012 masih belum reda sepenuhnya. Sementara di Jakarta, wacana evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua juga sedang hangat-hangatnya. Kaukus Papua, komunitas anggota DPR RI asal Tanah Tabi itu sempat menolak keras agenda PMII di Papua saat itu. Terlebih, agenda besar itu dihelat di bulan Desember, sebuah masa yang rawan karena bertepatan dengan hari lahir Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang diabadikan sebagai bulan perayaan kemerdekaan Papua.
“Jika saja tak nekat mungkin selamanya nama Papua ditakuti dan dihindari untuk jadi tempat perhelatan tingkat Nasional, termasuk Kongres Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Februari 2015 lalu juga mungkin tak diadakan di sana. Suksesnya Muspimnas saat itu juga berkat wasilah Gus Dur,” kata Sabarudin Rery, Ketua SC Muspimnas PMII 2012.
Pernyataan Rery yang asal Maluku itu, bukanlah bualan. Engel Waly budayawan setempat, mengaku dengan suka rela mengoordinir anak-anak adat binaanya untuk menampilkan sejumlah tarian adat dalam Festival Budaya dalam salah satu agenda Muspimnas PMII, yang digelar selama sepekan pada medio Desember 2012 lalu.
Menurut Engel, para tokoh adat di Sentani juga turut mengerahkan pasukannya untuk mengamankan kegiatan PMII yang dihelat di Hotel Sentani, Jayapura itu. Sentani menurut Engel dan sejumlah tokoh lain yang saya wawancara merupakan daerah ‘merah’ pusat konflik antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan TNI. Tak jauh dari Hotel tua yang tampak tak terawat itu kerap terjadi konflik bersenjata dan tak jarang menimbulkan korban jiwa baik dari TNI, OPM, maupun kalangan sipil biasa.
“Kalian cukup berani mengadakan kegiatan di sini. Kalau saja kalian bukan anak-anak Gus Dur, mungkin kami juga pikir-pikir untuk terlibat,” ujarnya.
Warga Papua, kata Engel sangat menghargai peranan K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah mengembalikan identitas kepapuaan itu. “Gus Dur memimpin dengan hati. Pluralisme yang diajarkan beliau juga kami pertahankan di sini. Maka ketika PMII yang merupakan kader Gus Dur membuat kegiatan di sini, kami menyambut baik kegiatan ini karena kami yakin akan memberi dampak positif bagi masyarakat lokal. Di sini kami merasa bertanggung jawab mengamankan kegiatan ini,” katanya lagi.
Sejatinya, tak hanya pasukan adat yang turut menjaga kegiatan yang diikuti 500 kader PMII se Nusantara itu. Sebab di dalam hotel, kami sering melihat hilir-mudik sejumlah orang berpakaian safari, dengan handy talky tergantung di celananya. Kami mengira mereka adalah intel. Terkadang mereka duduk-duduk berkelompok di sejumlah kursi yang tersedia di pojok-pojok hotel seluas tiga kali lapangan sepak bola itu. Di seberang hotel, terdapat pegunungan Cyclop yang sebagian sedang dieksplorasi. Naik sedikit, ada hutan dan “Pasukan adat itu berjaga di sana,” kata Wally.
Meski terbilang sebagai daerah konflik, namun selama sepekan kami beracara di Sentani, tak satu pun berjumpa aparat bersenjata. Hanya beberapa orang tegap dan cepak memang kerap nongkrong di warung-warung kecil sekitar hotel. Sederetan bendera dan spanduk berlogo PMII berjejer di pintu masuk hotel bersama satu baliho bergambar Gus Dur.
Konflik antar warga, kata pemuda asli Sentani itu, kerap terjadi di pinggiran perkotaan Jayapura, atau di bagian pegunungan. Tetapi menurutnya, konflik lantaran isu keagamaan hampir tak pernah terjadi di Senati, “Mungkin karena muslim di sini banyak pengikut Gus Dur. Kami yang Kristen dan saudara kami yang masih bertahan dengan animisme pun menghargai beliau,” katanya.
Ia menyesalkan banyaknya berita perang adat di sejumlah daerah Papua,
yang imbasnya mendiskreditkan warga Papua secara keseluruhan. “Padahal
itu hanya terjadi di sebagian daerah Papua. Konflik itu biasanya terjadi karena isi perut, gejolak terjadi karena berebut SDA. Kenapa SDA kami diambil sementara kami malah diabaikan. Kurang perhatian. Otsus (Otonomi Khusus,red) saja, belum teraplikasikan sepenuhnya,” tandasnya.
Pergantian nama Propinsi Irian dengan Papua, menurut Engel sangat disyukuri warga adat, karena hal itu merupakan pengembalian identitas mereka. “Maka tak heran, jika warga Papua tak bisa melupakan Gus Dur,” imbuhnya.