"Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri."Â
-F.D Roosevelt
Kecamuk pandemi global yang telah ditetapkan oleh WHO[1] (World Health Organization) sebagai organisasi internasional yang fokus dalam bidang kesehatan memberikan efek ketakutan sekaligus kekhwatiran ekonomi politik global. Hal ini didasarkan pada sebuah fakta baru yang coba langsung di respon oleh beberapa kalangan; baik ilmuwan, ekonom, dan politisi. Semuanya berlomba-lomba mencari eksistensi diri lewat pengalaman intelektualitas mereka sendiri, ada yang membuat proyeksi dan juga ada yang langsung membuat nubuat --hal yang pasti kedatangannya.Â
Mengutip dari pernyataan Yuval Noah Harari dalam tulisannya The World After Coronavirus. ia mengatakan bahwa para petinggi negara ataupun pemerintahan akan membentuk sebuah pembaharuan sistem dalam bidang kesehatan, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Poin penting yang disampaikan Harari mengacu pada bagaimana negara memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap setiap masyarakat. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ivan Krastev, Ilmuwan Politik asal Bulgaria, yang menyebutkan bahwa adanya pandemic global ini (Covid -19) seharusnya negara dapat memperbaiki trust --kepercayaan- masyarakat terhadap pemerintah, karena adanya dorongan apriori hanya negara yang mampu menyelamatkan masyarakat sekarang dalam kerangka politik surveillance state --negara pengawasan[2].
 Realitas yang ada diatas---surveillance state- merupakan gambaran abstrak yang belum mampu sepenuhnya diterapkan di berbagai negara. Akan tetapi, abstraksi yang ada dapat diminimalisasi dengan hadirnya teknologi sebagai penyelamat untuk terselenggaranya ide-ide tersebut. Permasalahan hari ini tidak terbatas hanya pada tataran kebijakan publik dan sosio-politik, kegiatan ekonomi politik suatu negara juga mengalami kemandekan yang diakibatkan oleh resesi ekonomi, hingga saat ini belum diketahui kapan hal tersebut akan selesai. Padahal jika resesi terjadi terus menerus, bukan tidak mungkin akan terjadi suatu tragedi ekonomi internasional yang akan melanda dunia.
Langkah-langkah dunia dalam menghadapi pandemic ini kiranya tidak main-main, cara apapun akan ditempuh demi mengembalikan dunia kmebali normal. Sejumlah negara telah menyiapkan stimulus fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi covid -19 ini, contohnya Indonesia yang akan menggelontorkan dana sebesar 436.1 T, Singapura (688.85 T), Jerman (13.125 T), Jepang (16.308 T), dan Amerika Serikat (32.800 T)[3]. Dengan jumlah uang yang tidak sedikit digelontorkan oleh negara-negara diatas, hal itu akan di transformasikan menjadi bentuk stimulus dan bantuan kepada masyarakat untuk mendongkrak perekonomian untuk setidaknya stagnan atau tidak terjun bebas. Lantas dengan adanya campur tangan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini akankah negara-negara mengalami great depression yang sempat melanda Amerika Serikat (1929-1939)?Â
Great Depression season 2?Â
The Economist melansir prediksi bahwa akan terjadi penurunan presentase proyeksi pertumbuhan ekonomi, bahkan disebutkan bahwa yang terjadi pada tahun 2020 ini merupakan ancaman serius bagi ekonomi global. Awal mula kemunculan Covid -19 (Corona Virus Disease, 2019), The Economist memprediksi pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 2,3%. Akan tetapi, hal ini langsung dikoreksi dengan cepat seiring melihat implikasi yang ditimbulkan pandemi global ini. Dilihat dari perdagangan internasional yang lesu, daya beli masyarakat yang turun drastis, dan kemandekan investasi, akhirnya wadah proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut merevisi angka pertumbuhan hanya berada pada angka 1,9%, yang artinya hal ini sangat bisa menyebabkan depresi besar ekonomi internasional layaknya Amerika Serikat pada tahun 1930-an[4].Â
The Great Depression (Depresi Besar) merupakan tragedi ekonomi Amerika serikat yang disebabkan anjloknya nilai saham akibat spekulasi besar-besaran. Awalnya perekonomian Amerika Serikat mengalami kejayaan pada masa itu sehingga disebut dengan era "The Roaring Twenties", kekayaan negara naik dua kali lipat. Akan tetapi, pada tahun 1929 terjadi pelepasan saham-saham secara besar-besaran hingga indeks saham Dow Jones Inndustrial Average (DJIA) jatuh hingga 11%, dan peristiwa tersebut dinamakan "Black Thursday".
Menurut Michael Bernstein dalam bukunya The Great Depression: Delayed Recovery and Economic Change in America, 1929-1939, jatuhnya pasar saham menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, menyusutnya investasi, guncangan sector industri, dan merebaknya pengangguran[5]. Hal ini menyebabkan pada dua hal; penyitaan aset melonjak dan terjadi kredit macet.Â
Seorang Ekonom Amerika Serikat, Robert Shiller akhirnya angkat bicara mengenai prediksi resesi ekonomi global[6]. Shiller mengatakan bahwa yang terjadi sekarang tak sama dengan apa yang terjadi di Amerika pada tahun 1930-an (The Great Depression), karena ia beranggapan bahwa hal yang mendasari terjadinya resesi ekonomi global pada saat sekarang merupakan pandemi, yang hanya akan bertahan satu hingga dua tahun saja. Perbuatan masyarakat yang paranoid membuat ekonomi akan terlihat suram sekarang. Akan tetapi, ia tidak menafikan bahwa kondisi sekarang mungkin lebih buruk daripada depresi.
Di tengah badai pandemi global seperti sekarang, banyak negara-negara yang ingin bertahan pada status quo dengan cara; mempertahankan pertumbuhan ekonomi lewat prospek perdagangan internasional dan investasi yang mandek. Semua kemungkinan dihantam untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi yang sangat ambisius. Padahal di masa-masa kelam seperti ini selamat dari badai pandemi ini pun sudah cukup. Dalam hal ini rezim perdagangan internasional memiliki peran penting untuk mengatur peran dalam sector perdagangan lintas negara dengan tujuan mengendalikan pasar, mengimbangin supply dan demand agar tidak terjadi krisis ekonomi dan perdagangan global. Sudahkah WTO mengambil peran dalam upaya penanganan ekonomi dan pandemi hari ini?
World Trade Organization (WTO) dan Proyek Pengendalian Pasar
World Trade Organization (WTO) memproyeksikan tren ekonomi politik global akan lebih buruk akibat dampak pandemic covid -19. Hal ini diakibatkan pengaruh disrupsi ekonomi global yang cenderung tidak dapat diprediksi hingga hari ini, pangsa pasar yang saling sikut --kebijakan proteksionisme- mengakibatkan banyak negara dihantui oleh pesimisme dan adanya paradigma kegagalan negara modern.
Melihat fundamen teoretis institusi internasional, negara akan dihadapkan oleh dua pilihan yang dapat melihat institusi internasional sebagai intergovernmentalisme atau supranasionalisme. Kesepakatan yang dihadirkan dalam melihat WTO sebagai institusi internasional, menggunakan paradigma supranasionalisme yang artinya tiap-tiap negara anggota membentuk secara gradual organisasi tersebut dan membentuk rezim yang lebih tinggi dari negara untuk proses integrasi[7].Â
Jika pada dasarnya WTO telah dinisbihkan dalam mengatur arus ekonomi global, prediksi The Economist penurunan indeks ekonomi global menjadi 1,9% seperti Analisis diatas seharusnya dapat dihindari karena WTO dapat dengan mudah mengatur hal tersebut.
Usaha-usaha yang terdampak dari adanya pandemi covid -19 ini dalam bidang akomodasi, usaha makanan, manufaktur dan properti. Ditambah kebijakan Lockdown/Isolasi Penuh membuat perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sejak Wuhan Lockdown, pasar global tidak terkendali karena sulitnya akses impor. Dalam hal ini perlu kiranya WTO menerapkan kebijakan sesama anggotanya untuk melakukan relaksasi impor dan ekspor dalam hal persyaratan administratif, agar wacana pengendalian pasar dapat direalisasikan secara komprehensif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H