Media Sosial: Antara Citra dan Realita
Di tengah era digital seperti sekarang, media sosial sudah jadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Tapi jujur, semakin lama aku mulai merasa jenuh dan agak terganggu dengan efek negatifnya. Hiruk-pikuk dan segala "kebisingan" yang ditimbulkan justru bikin kita gampang teralihkan dari hal-hal penting. Bukannya lebih produktif, malah tersedot ke dunia yang penuh kesan dan citra.
Kenapa media sosial bisa jadi masalah? Jawabannya simpel: otak kita seringkali nggak punya kesempatan untuk mencerna informasi secara mendalam. Informasi yang ada di media sosial itu serba cepat, instan, dan kadang dangkal. Akhirnya, apa yang kita serap lebih sering jadi "sampah informasi" yang numpang lewat di kepala dan susah untuk diimplementasikan dalam hidup nyata. Seperti yang pernah dikatakan filsuf Martin Heidegger, "Teknologi bukan hanya alat, tapi juga cara berpikir." Dalam konteks media sosial, pola pikir kita juga beralih jadi serba instan dan gampang tanpa ada kedalaman.
Media Sosial dan Citra yang Ilusi
Di media sosial, sering kali kita lebih fokus pada "citra" atau "image" yang ingin kita tunjukkan. Filsuf Jean Baudrillard pernah membahas konsep simulacra, yaitu realitas buatan yang kita ciptakan dan sajikan, walau bisa saja itu bertolak belakang dari kenyataan yang sebenarnya. Makanya, banyak orang terlihat punya hidup sempurna di media sosial, padahal bisa jadi itu cuma tampilan yang dikurasi.
Kalau lihat dari pandangan Islam, pencitraan berlebihan ini sebenarnya dihindari. Di Al-Qur'an, Surah Al-Hujurat ayat 11 menegaskan, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain...dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." Ayat ini mengingatkan bahwa keinginan untuk memamerkan diri bisa jadi bentuk kesombongan dan bikin kita terus membandingkan hidup dengan orang lain---yang nggak sehat juga buat kita.
Pendapat Ulama: Kembali ke Kesederhanaan
Para ulama juga sering mengingatkan kalau keterikatan berlebihan pada dunia (termasuk dunia maya) bisa menjauhkan kita dari fokus pada hal yang benar-benar penting. Imam Al-Ghazali misalnya, dalam Ihya Ulumuddin, bicara soal pentingnya kesederhanaan dan ketenangan hati. Baginya, seseorang yang terlalu sibuk membangun citra justru akan sulit mencapai "tazkiyatun nafs" atau penyucian jiwa. Dia bilang, "Kesederhanaan adalah jalan menuju ketenangan hati, sementara ketenangan hati adalah jalan menuju kebahagiaan sejati." Pesannya? Jangan sampai kita terjebak dalam gemerlap dunia maya yang mungkin cuma membuai kita tanpa memberikan nilai lebih dalam hidup.
Media Sosial Bukanlah Tolak Ukur
Media sosial memang jadi tempat sempurna buat branding atau pencitraan. Kalau kata ahli (ChatGPT, 2024), image building adalah cara untuk menciptakan, membentuk, dan mengelola persepsi publik terhadap diri kita. Di satu sisi, ini bisa jadi kesempatan untuk membangun karier atau menunjukkan karya. Tapi kalau nggak hati-hati, kita malah bisa terjebak dalam obsesi membangun citra tanpa memperhatikan pembangunan diri yang sebenarnya.