Mohon tunggu...
Malik Ibnu Zaman
Malik Ibnu Zaman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Suka baca buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaitan Sejarah antara Tegal dan Mataram Islam

9 Januari 2024   00:20 Diperbarui: 9 Januari 2024   00:21 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Perbukitan di Tegal (Malik Ibnu Zaman)

Pernahkah kalian menonton film Misteri Gunung Merapi? Masa sih nggak pernah, ituloh
Mak Lampir, nenek sakti berwajah seram dengan suara ketawanya yang khas dan selalu
membuat kerusakan.

Film yang rilis tahun 1998 ini dalam beberapa episodenya menceritakan tentang Tegal,
beberapa daerah di Tegal disebut dalam film ini, misalnya, Pakembaran, Slawi, Kalisoka,
Kali Gung, Gunung Slamet. Bukan hanya nama-nama tempat di Tegal yang masuk ke dalam
cerita film, tokoh-tokoh Tegal juga masuk dalam cerita film, sebut saja Ki Gede Sebayu dan
Pangeran Purbaya.

Setelah saya telusuri, ternyata sutradara sekaligus penulis skenario film Misteri Gunung
Merapi adalah orang Tegal, yakni M. Abnar Romli, pria kelahiran Pakembaran, Slawi tahun
1943. Hal tersebut tentu saja membuat saya bangga, mengingat dalam dunia perfilman
sekarang, orang Tegal diidentikan dengan peran pembantu dan sopir.

Jika dilihat dari setting waktu, setting awal ketika Mak Lampir dimasukan ke dalam peti oleh
Ki Ageng Prayogo, murid Sunan Kudus itu di zaman Kesultanan Demak yang dipimpin oleh
Raden Fatah. Kemudian ketika Mak Lampir bangkit kembali untuk membalaskan dendamnya
kepada keturunan Ki Ageng Prayogo, itu di zaman Kesultanan Mataram Islam, yang saat itu
dipimpin oleh Sultan Agung.

Tegal dan Mataram Islam

Jika ditelisik dari historis, Tegal dan Mataram Islam memiliki kaitan historis yang susah
untuk dielakan. Sebut saja Pangeran Purbaya yang menikahi putri dari Ki Gede Sebayu.
Pangeran Purbaya merupakan putra dari Panembahan Senopati (Sutawijaya), pendiri dan
Sultan pertama Mataram Islam. Saat keponakannya yakni Sultan Agung naik tahta, ia
menjabat sebagai pelindung (penasehat) sultan.

Kemudian ketika Sultan Agung menyerang VOC di Batavia, Tegal juga memiliki peran
sentral, di mana menjadi jalur yang dilalui oleh pasukan Mataram. Hal ini juga ada kaitannya
dengan sejarah Warteg (Warung Tegal). Di mana ketika penyerbuan ke Batavia, Sultan
Agung memerintahkan masyarakat Tegal untuk membantu, dengan cara menyediakan
makanan murah bagi prajurit Mataram. Itulah yang kemudian menjadi cikal bakal Warteg.

Selain itu, putra Sultan Agung yang bernama Raden Mas Sayidin yang bergelar Sunan
Amangkurat I, makamnya berada di Tegal. Tepatnya di Dusun Pekuncen, Desa Pesarean,
Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.

Kemudian ketika Perang Jawa meletus tahun 1825-1830, Tegal juga menjadi salah satu basis
perlawanan Pangeran Diponegoro. Lalu ketika Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang,
banyak pengikutnya melarikan diri ke Tegal untuk menghindari kejaran pasukan Belanda.

Makam Tumenggung Bahurekso di Tegal

Zaman keemasan Kesultanan Mataram Islam tatkala dipimpin oleh Sultan Agung, bahkan
VOC pun segan kepada Mataram. Banyak sekali nama-nama Senopati Mataram yang
terkenal saat itu, diantaranya Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Alap-Alap, Tumenggung
Bahurekso, Tumenggung Suratani, Tumenggung Sura Agul-Agul, Tumenggung Singaranu
dan lainnya.

Tumenggung Bahurekso, yang memiliki nama asli Joko Bahu, yang juga merupakan Bupati
Kendal pertama, dimakamkan di Tegal, tepatnya di Desa Lebaksiu Kidul, Kecamatan
Lebaksiu, Kabupaten Tegal.

Pasukan Mataram menyerang VOC yang berkedudukan di Batavia sebanyak dua kali,
pertama tahun 1628, serangan kedua tahun 1629. Serangan pertama dipimpin oleh
Tumenggung Bahurekso, serangan kedua dipimpin oleh Tumenggung Singaranu dan
Pangeran Purbaya.

Serangan pertama yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso terjadi pada 27 Agustus 1628.
Nah, pada pertempuran 21 Oktober 1628, Tumenggung Bahurekso terluka kakinya terkena
meriam, lalu ia mundur. Di tempat yang sekarang bernama Desa Lebaksiu Kidul,
Tumenggung Bahurekso dirawat oleh Syekh Magelung Sakti atau Pangeran Trondol. Tidak
ada yang tahu pasti kapan ia meninggal, ketika meninggal dimakamkan di Desa Lebaksiu
Kidul.

Kemudian Tumenggung Bahurekso digantikan oleh Tumenggung Sura Agul-Agul, ia
didampingi oleh dua panglima lapangan, kakak beradik, yakni Kiai Adipati Mandurareja dan
Kiai Adipati Upa Santa. Serangan pertama ini gagal, ketiganya dihukum mati oleh Sultan
Agung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun