Sementara, jika hakikat pernikahan adalah persetubuhan maka konsekuensinya adalah memperhatikan aspek alat reproduksi, termasuk kesiapan berketurunan yang sangat penting. Solusinya yakni melarang pernikahan sampai dewasa.
Pernikahan dimaknai sebagi akad berarti membutuhkan edukasi yang mendalam bagi kedua belah pihak. Kesiapan menanggung akibat hukum pasca akad harus diperhatikan. Di sinilah pentingnya edukasi tentang pernikahan, menuju pendewasaan usia, dalam arti kualitatif yang merujuk pada kompetensi. Namun jika kita fokus pada pembatasan usia kuantitatif, dalam arti usia biologis semata, maka persoalan tidak akan terpecahkan.
Secara terminologi, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hak yang harus dipenuhi pada anak adalah hak beragama sesuai dengan yang dianut.
Dengan demikian, usia pernikahan hendaknya merujuk pada kualitas individu yang tentunya terkait erat dengan kematangan dan kesiapan, baik fisik maupun mental untuk merealisasi tujuan perkawinan. Batasan 19 tahun dan 16 tahun hanya dibaca sebagai usia “minimalis”, itupun tetap dengan syarat yang ketat, syarat izin orang tua, syarat tetap terpenuhi hak dasar kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta terlindungi dari kekerasan dan eksploitasi. Hal paling penting dan mendesak dalam konteks ini adalah mengkampanyekan hakikat dan tujuan perkawinan. Salah satunya dengan revitalisasi pranata kursus calon pengantin (suscatin) yang sudah ada, yang menjadi langkah awal untuk mendapatkan pendidikan Pra Nikah secara holistik dan komperehensif. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H