Tidak bisa disangkal jika Indonesia saat ini terpengaruh dengan paham demokrasi liberal seperti yang dianut oleh banyak negara. Amerika Serikat yang memiliki sejarah panjang dengan demokrasi liberal, memberikan pengaruh yang sangat kuat kepada negara-negara berkembang. Indonesia yang dulunya memiliki ideologi demokrasi terpimpin, tidak kuasa menahan arus tersebut, yang dibawa dengan adanya globalisasi. Runtuhnya rezim Orde Baru menjadi babak awal dimulainya demokrasi liberal tersebut.
Gerakan liberalisasi masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan kita. Politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama, tidak lepas dari ide-ide liberalisme. Filsafat liberalisme bahkan menjadi agama baru yang menentukan benar salah, dan dia mampu menjadi penafsir atas segala peristiwa yang terjadi di muka bumi ini.
Di Amerika Serikat, gerakan liberalisme setidaknya sudah terjadi sejak Perang Dunia II. Ada aspek yang mengemuka antara gerakan liberal ini dengan kepentingan militer di negeri Paman Sam tersebut. Aspek tersebut adalah meningkatnya dan bertahannya ketegangan masa damai antara kepentingan militer dan masyarakat liberal Amerika.
Bisa dikatakan liberalisme merupakan antitesa dari institusi militer yang profesional. Di satu sisi, kekuasaan liberal yang didominasi oleh masyarakat sipil, bertentangan dengan doktrin-doktrin militer yang kaku dan rigid. Sementara di sisi yang lain, kekuasaan liberal membutuhkan pengamanan akan eksistensi dirinya dari ancaman yang beraneka ragam. Dengan kata lain, kekuasaan sipil menolak militerisme, tapi membutuhkan institusi militer untuk menopang keberadaannya.
Untuk memenuhi cara pandang yang demikian, tiga hal yang dilakukan oleh kelompok sipil di Amerika Serikat adalah memangkas kekuatan militer hingga ke tulangnya, mengasingkan institusi militer dari lingkungan masyarakat dan mengurangi pengaruh militer sampai pada proporsi yang tidak berarti. Militer kembali ke barak merupakan eufemisme yang sebenarnya upaya mengerdilkan tentara hingga titik nol.
Inilah cara-cara yang dijiplak secara mentah-mentah oleh para penganut demokrasi liberal di Indonesia. Kita lihat bagaimana nasib TNI saat ini. Mereka dipangkas, diasingkan dari masyarakat dan dijauhkan pengaruhnya dari kehidupan nyata. TNI hanya dijadikan bumper, dan eksistensinya dibuat tidak jelas. Kuatnya tekanan internasional, yang juga diamini oleh para pembuat kebijakan pro-asing, menyebabkan militer Indonesia (baca: TNI), kehilangan arah dan orientasi. Apapun yang dilakukan TNI, dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan rezim Orde Baru yang militeristik.
Hubungan militer sipil merupakan salah satu aspek dari kebijakan keamanan nasional. TNI yang sudah reformis, tidak lagi memaksakan kehendak untuk menjalankan fungsinya sebagai penjaga kedaulatan NKRI. Hal ini tampak dari upaya pemerintah untuk menggolkan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) di DPR. TNI mengikuti prosedur yang sudah disepakati.
Lembaga eksekutif dan legislatif menjadi pengejawantahan betapa militer Indonesia mengakui keabsahan kekuasaan sipil. Ada suasana demokrasi dalam pembahasan RUU ini, di mana para Jenderal tidak segan-segan duduk bersama dengan kalangan sipil untuk mencari jalan yang terbaik bagi lahirnya UU Keamanan Nasional.
Agenda dari kebijakan keamanan nasional, yang tertuang dalam draft RUU Kamnas, adalah meningkatkan keamanan institusi-institusi sosial, ekonomi dan politik bangsa terhadap berbagai ancaman yang muncul dari negara-negara lain. Kebijakan keamanan nasional meliputi berbagai kegiatan yang dirancang untuk mengurangi atau menetralkan berbagai usaha yang akan melemahkan dan menghancurkan negara.
Opsi menggunakan kekuatan senjata oleh militer bisa saja dilakukan sepanjang ancaman terjadi di luar batas-batas institusional dan teritorial. Sementara itu, kebijakan keamanan internal yang berhubungan dengan ancaman subversi, bisa dikoordinasikan antar lembaga di bawah koordinasi Dewan Keamanan Nasional. Dari sini kemudian lahir tingkatan kebijakan operasional dan tingkatan institusional. Kebijakan operasional terdiri dari tindakan yang diambil untuk menghadapi ancaman keamanan, sementara kebijakan institusional berhubungan dengan cara bagaimana kebijakan operasional dirumuskan dan dilaksanakan.
Sejarah Panjang Hubungan Militer Sipil
Institusi militer di lingkungan masyarakat mana pun dibentuk oleh dua kepentingan. Pertama, kepentingan fungsional yang lahir dari adanya ancaman terhadap keamanan nasional. Kedua, lahir dari kepentingan sosial akibat adanya kekuatan sosial, ideologi dan berbagai institusi dominan di masyarakat. Di Indonesia, institusi militer lahir berdasarkan kepentingan pertama, yakni alat pertahanan terhadap ancaman dan kedaulatan negara.
Dalam teori militer sipil, nilai-nilai sosial yang mendominasi institusi militer, tidak akan membuat fungsi kemiliteran berjalan efektif. Hal ini bisa dilihat dari kondisi TNI saat ini, ketika negara dalam kondisi damai, peranan dan fungsi institusi TNI tidak terasa. Apalagi ada dikotomi antara ancaman pertahanan dan keamanan. Ketika TNI tidak dilibatkan mengatasi konflik sosial di dalam negeri, maka eksistensinya tidak ada, karena sistem yang membuatnya hilang.
Beruntung, UU Penanganan Konflik Sosial sudah disahkan oleh parlemen. Setidaknya, kondisi ini bisa mengubah wajah TNI di tanah air. Atas restu Presiden dan DPR, TNI dibenarkan terlibat menangani konflik sosial yang terjadi di daerah tertentu.
Namun, ada upaya dari kelompok sipil tertentu yang akan membawa UU PKS ke Mahkamah Konstitusi untuk di-judicialreview. Sudah tentu, upaya mereka menjadi batu sandungan terhadap eksistensi militer Indonesia yang mulai bergeliat dalam beberapa waktu belakangan ini.
Jika melihat sejarah hubungan militer sipil, kondisi di Indonesia saat ini sudah dirasakan oleh Amerika Serikat. Kehadiran kelompok-kelompok sipil yang memperjuangkan demokrasi liberal, persis yang dialami oleh negara adikuasa itu. Hal yang paling mendasar dari benturan antara kepentingan sipil versus institusi militer tidak lepas dari filsafat liberalisme yang mendominasi Amerika Serikat dan Eropa menjelang abad 20.
Filsafat liberalisme mungkin bisa diterapkan dalam kondisi damai dan kehidupan sosial antarindividu. Tapi menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana menerapkan liberalisme ketika negara dalam kondisi darurat perang? Atau bagaimana menerapkan filsafat liberalisme ini ketika negara terguncang akibat aksi massa yang anarkhis menolak kenaikan harga BBM?
Apa yang bisa diperbuat oleh kelompok-kelompok sipil dengan ide-ide demokrasi liberalnya, ketika negara sudah dalam posisi bagai telur di ujung tanduk? Apakah kelompok-kelompok sipil ini bisa menangani aksi anarkhisme para vandalis terkait penolakan harga BBM? Apakah kelompok sipil ini baru tersadar bahwa keyakinan mereka salah ketika Indonesia sudah terpecah-pecah?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu saja, bisa disimpulkan filsafat liberalisme ini tidak cocok dengan institusi militer. Hal ini sudah diyakini oleh para cerdik cendikia di Amerika Serikat sejak awal abad 20. Liberalisme bukanlah filsafat keterlibatan. Paham ini bermula sebagai filsafat kelas menengah, dan memandang dirinya sebagai cara rasional kaum ekstrem aristokrasi dan proletarianisme. Pada abad kedua puluh, kaum liberal menganggap dirinya sebagai pusat vital antara komunisme dan fasisme. Inilah problem yang sebenarnya, ketika kelompok-kelompok sipil memaksakan kehendaknya secara radikal atas kebenaran liberal yang mereka anut. Seandainya kelompok-kelompok sipil liberal ini mau bersikap toleran, dan meninggalkan paham sempitnya, bisa saja terlahir sejarah baru dimana hubungan militer sipil terbina di atas pondasi saling percaya dan jauh dari sikap curiga yang tak beralasan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H