Sejarah Panjang Hubungan Militer Sipil
Institusi militer di lingkungan masyarakat mana pun dibentuk oleh dua kepentingan. Pertama, kepentingan fungsional yang lahir dari adanya ancaman terhadap keamanan nasional. Kedua, lahir dari kepentingan sosial akibat adanya kekuatan sosial, ideologi dan berbagai institusi dominan di masyarakat. Di Indonesia, institusi militer lahir berdasarkan kepentingan pertama, yakni alat pertahanan terhadap ancaman dan kedaulatan negara.
Dalam teori militer sipil, nilai-nilai sosial yang mendominasi institusi militer, tidak akan membuat fungsi kemiliteran berjalan efektif. Hal ini bisa dilihat dari kondisi TNI saat ini, ketika negara dalam kondisi damai, peranan dan fungsi institusi TNI tidak terasa. Apalagi ada dikotomi antara ancaman pertahanan dan keamanan. Ketika TNI tidak dilibatkan mengatasi konflik sosial di dalam negeri, maka eksistensinya tidak ada, karena sistem yang membuatnya hilang.
Beruntung, UU Penanganan Konflik Sosial sudah disahkan oleh parlemen. Setidaknya, kondisi ini bisa mengubah wajah TNI di tanah air. Atas restu Presiden dan DPR, TNI dibenarkan terlibat menangani konflik sosial yang terjadi di daerah tertentu.
Namun, ada upaya dari kelompok sipil tertentu yang akan membawa UU PKS ke Mahkamah Konstitusi untuk di-judicialreview. Sudah tentu, upaya mereka menjadi batu sandungan terhadap eksistensi militer Indonesia yang mulai bergeliat dalam beberapa waktu belakangan ini.
Jika melihat sejarah hubungan militer sipil, kondisi di Indonesia saat ini sudah dirasakan oleh Amerika Serikat. Kehadiran kelompok-kelompok sipil yang memperjuangkan demokrasi liberal, persis yang dialami oleh negara adikuasa itu. Hal yang paling mendasar dari benturan antara kepentingan sipil versus institusi militer tidak lepas dari filsafat liberalisme yang mendominasi Amerika Serikat dan Eropa menjelang abad 20.
Filsafat liberalisme mungkin bisa diterapkan dalam kondisi damai dan kehidupan sosial antarindividu. Tapi menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana menerapkan liberalisme ketika negara dalam kondisi darurat perang? Atau bagaimana menerapkan filsafat liberalisme ini ketika negara terguncang akibat aksi massa yang anarkhis menolak kenaikan harga BBM?
Apa yang bisa diperbuat oleh kelompok-kelompok sipil dengan ide-ide demokrasi liberalnya, ketika negara sudah dalam posisi bagai telur di ujung tanduk? Apakah kelompok-kelompok sipil ini bisa menangani aksi anarkhisme para vandalis terkait penolakan harga BBM? Apakah kelompok sipil ini baru tersadar bahwa keyakinan mereka salah ketika Indonesia sudah terpecah-pecah?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu saja, bisa disimpulkan filsafat liberalisme ini tidak cocok dengan institusi militer. Hal ini sudah diyakini oleh para cerdik cendikia di Amerika Serikat sejak awal abad 20. Liberalisme bukanlah filsafat keterlibatan. Paham ini bermula sebagai filsafat kelas menengah, dan memandang dirinya sebagai cara rasional kaum ekstrem aristokrasi dan proletarianisme. Pada abad kedua puluh, kaum liberal menganggap dirinya sebagai pusat vital antara komunisme dan fasisme. Inilah problem yang sebenarnya, ketika kelompok-kelompok sipil memaksakan kehendaknya secara radikal atas kebenaran liberal yang mereka anut. Seandainya kelompok-kelompok sipil liberal ini mau bersikap toleran, dan meninggalkan paham sempitnya, bisa saja terlahir sejarah baru dimana hubungan militer sipil terbina di atas pondasi saling percaya dan jauh dari sikap curiga yang tak beralasan. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI