Mohon tunggu...
Politik Pilihan

DP 0%: Upaya Anies Uno Menghilangkan Masalah dengan Menciptakan Masalah Baru

17 Februari 2017   18:36 Diperbarui: 17 Februari 2017   20:48 7034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama pilkada putaran 1, banyak yang memuja-muji Anies dengan performa debatnya. Tak terkecuali puja-puji di kultwit special Tempo di akun ini. Sayang yang dinilai hanyalah cara bicara puitis dan seolah kritis. 

Beberapa survei memang memperlihatkan warga senang dengan cara Anies-Uno berkomunikasi di panggung debat. Padahal jika ini adalah masalah nasib kita 5 tahun ke depan, maka yang perlu dinilai adalah originalitas dan rasionalitas ide dan program yang ditawarkan. Bukan mendayu-dayunya cara berpuisi dalam menyampaikan program tersebut. 

Apalagi Anies dari awal sudah menantang Ahok dan Agus untuk berfestivalisasi gagasan, yang sayangnya bukan itulah yang terjadi. Seharusnya ide-ide yang disampaikan segera dicatat, diperbincangkan, dan dicari kelemahan-kelebihannya oleh masyarakat sebelum masuk ke bilik suara.

Salah satu ide yang sebenarnya sangat kontroversial dari Anies Baswedan adalah ide DP 0% untuk membantu rakyat kecil memiliki rumah sendiri. Memang sungguh manis terdengar, karena di masyarakat kita sungguhlah impian memiliki rumah tapak (rumah tapak berarti rumah tunggal yang sering kita lihat dan artikan sebagai rumah sebenarnya, bukan dalam bentuk rumah susun) adalah sebuah tujuan adiluhung sepanjang umur. 

Belum lengkap rasanya foto keluarga bersama anak dan cucu bila belum dilakukan di depan rumah tapak milik sendiri. Rumah susun atau apartemen masih dianggap bagian dari gaya hidup anak-anak muda yang masih single atau pasangan muda. 

Anies berkoar bahwa berdasarkan masukan dan hitung-hitungan Sandiaga Uno yang dia tasbihkan layaknya Usman bin Affan, ia bisa menghadirkan skema pencicilan rumah tapak tanpa harus membebani masyarakat dengan DP 0% dan masa angsuran 30 tahun. Dengan kata lain, tidak perlu membayar di muka. Kontan saja ini membuat kita mengerinyitkan dahi. Bagaimana mungkin Bank sebagai lembaga pembiayaan membuat pembiayaan sehebat itu?

Tentu kalau dari sisi calon pemilih yang ingin dibuai dengan janji manis, janji ini sungguh menggiurkan. Siapa yang tidak mau memiliki rumah tanpa harus dijegal syarat-syarat memberatkan. Dan membayarnya begitu ringan karena dibagi dalam 30x12 bulan pembayaran, alias 360 kali! Wow.... 

Tapi sebagai akademisi, harusnya Anies tidak boleh sibuk membangun gagasan hanya mengandalkan sisi pandang satu kelompok saja. Lebih lanjut lagi, harusnya ia mempertimbangkan regulasi yang ada, kisaran harga tanah, hingga ketersediaan lahan, dan lebih jauh lagi harusnya ia mempertimbangkan apa dampak yang akan terjadi dengan kebijakan yang ia siapkan. Bukan masalah bisa apa tidak bisa saja.

Bagaimana mungkin Bank bisa membiayai seperti itu? Padahal Bank Indonesia sendiri telah membuat regulasi bahwa DP harus setidaknya 15% untuk menjaga keamanan bisnis bank. Peraturan ini tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015   dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016  

Kenapa harus ada DP? Karena DP adalah bentuk komitmen pencicil kepada kreditor. Adanya DP yang cukup, tidak terlalu mahal atau terlalu murah, akan membuat pencicil merasa memiliki tanggung jawab karena ada aset miliknya yang sudah tertanam di situ. 

Apa yang terjadi bila rumah diberikan 0%? Jelas spekulan akan berdatangan mengaku-aku butuh rumah, lalu mengambil cicilan yang harusnya menjadi jatah warga kecil. Toh tidak ada resiko harus kehilangan DP. Begitu kemudian berhasil, rumah dijual kembali dengan harga mahal, sehingga program ini malah kehilangan sasarannya. Bagaimana kalau gagal cicil? Ya sudah pura-pura tidak tahu saja atau tinggal ngotot tidak mau disita dan dilelang. Lalu panggil LSM dan media untuk membela seolah sebagai rakyat kecil yang teraniaya oleh Bank. 

Maka jika tiba-tiba ada krisis ekonomi dan jutaan rumah gagal bayar, kolapslah Bank DKI sebagai pihak yang menanggung seluruh resiko. Itulah alasan kenapa DP harus ada, sesuai regulasi.

Screenshot: Dokumen pribadi
Screenshot: Dokumen pribadi
Jurus Berkelit Seribu Bayangan

Pendukung Anies lalu berkelit dengan argumentasi bahwa ada skema kredit FLPPyang juga memudahkan masyarakat berpendapatan rendah, Bank DKI atau Pemprov kemudian tinggal mensubsidi kredit yang memang sudah berDP rendah ini sehingga jumlahnya sama atau mendekati nol. Indah bukan?

Sayangnya akal-akalan ini juga akan menemui hambatan dengan aturan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. FLPP Rumah Tapak tidak bisa diberikan di kota-kota padat di Indonesia. Yang bisa diberikan hanyalah FLPP Rumah Susun Hak Milik. Ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 20/PRT/M/2014, yang tidak mengizinkan Jakarta Timur, Selatan, dan Barat untuk mendapat jatah FLPP Rumah Tapak..

Padahal di sinilah yang harga tanahnya masih memungkinkan untuk dibuatkan rumah murah. Jakarta Pusat dan Utara? Waduh.. ga usah becanda deh. Ya mungkin kalau impian yang ditawarkan Anies adalah rumah di tengah pulau di Pulau Seribu yang untuk berpindahnya harus menunggui kapal tiap beberapa jam sekali. Saya tidak yakin akan banyak yang tertarik. 

Screenshot: Dokumen pribadi
Screenshot: Dokumen pribadi
Untuk Siapa DP 0% Ini Sebenarnya? Benarkah untuk Warga Tak Mampu?

Andaipun Anies dan pendukungnya masih bisa mengakali atau bernegosiasi dengan Gubernur BI dan Menteri PU/Pera, agar aturan-aturan tersebut bisa diabaikan, maka ganjalan berikutnya adalah harga tanah. Kita mahfum bahwa harga rumah paling rendah saja di pinggiran Jakarta adalah kisaran 200-400 juta. Itu sudah di benar-benar terpencil, dengan akses minimal, dan ukuran rumah yang sangat minimalis, kalau tidak bisa dikatakan tidak layak. 

Katakanlah sesuai dengan janji Anies di debat, DP bisa diakali dengan menjadikannya cicilan tabungan selama 6 bulan sebesar 10%, maka warga yang tergiur harus mampu menyediakan paling tidak Rp 20 juta selama 6 bulan, alias 3,3 juta setiap bulannya. 

Maka mari bertanya, warga berpendapatan rendah mana yang sanggup menyisihkan penghasilannya Rp 3,3 juta setelah dipotong makan, transportasi, dan biaya sekolah anak? Pastinya si warga itu telah melewati batas penghasilan UMR, sehingga tidak bisa lagi digolongkan berekonomi lemah, alias sudah masuk lapisan kalangan menengah. Rumah-rumah tapak dengan DP 0% ini jelas akan diantri oleh mereka yang punya duit cukup banyak untuk disisihkan sebagai cicilan bulanan.

Itukah yang dikoar-koarkan Anies untuk dibantu?

Dampak DP 0% kepada Tata Ruang Jakarta 10 tahun Lagi

Oke.. anggaplah itu semua tidak valid. Pokoknya bisa saja deh mencarikan mereka lahan murah dengan kreativitas dan goodwill mengapung, maka mari kita evaluasi kebijakan Anies ini terhadap tata ruang Jakarta ke depannya. Apa yang akan terjadi di masa depan?

Yang terjadi adalah jutaan warga akan berebut lahan tersisa untuk sekedar membuat rumah tapak. Ingat bahwa rumah tapak berarti ada satu bangunan rumah bagi satu keluarga di atas sebidang lahan. Berlawanan dengan ide rusun, di mana satu lahan digunakan oleh ratusan kepala keluarga beramai-ramai. Rumah tapak jelas tidak efisien, dan akan menimbulkan masalah baru karena berarti akan ada ribuan perkampungan baru yang semakin sulit dijangkau oleh fasilitas umum maupun sarana transportasi. 

Sehingga jika ide DP 0% ini terjadi, jutaan orang akan berlomba-lomba memiliki rumah tapak baru, sementara seperti yang sudah kita mahfum, tanah di Jakarta terbatas. Semakin banyak yang mampu memiliki rumah tapak, maka akan makin meroket pula harga tanahnya, dan yang jelas transportasi akan makin sulit menjangkau ke pelosok perumahan.

Bandingkan dengan solusi yang ditawarkan Ahok dengan menarik minat warga DKI untuk mau tinggal di hunian vertikal melalui rusunawa, rusunami, dan apartemen terjangkau. Dengan masyarakat tinggal mengelompok di lahan tertentu, maka transportasi umum cukup mendatangi bangunan tersebut saja, maka sudah semuanya terangkut. Bayangkan bila pemukiman warga makin tersebar terserak-serak di seluruh penjuru Jakarta, dan bayangkan suatu saat semuanya akan terpaksa menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai tempat kerjanya ke arah pusat Jakarta! 

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi
Kebijakan tanpa perhitungan ini juga akan mematikan pula harapan Jakarta menambah ketersediaan Ruang Terbuka Hijau. Kenapa? Karena sesuai usulan Fans Anies Sandi, lahan-lahan pemda dan lahan tidur dijualbelikan kepada para penerima subsidi DP 0% agar harga lahannya murah. Jadi yang awalnya harusnya bisa dibuatkan taman dan RTH/RTB, malah dikonversi menjadi rumah tapak! Ini masih belum menghitung rumitnya pengelolaan sampah, perawatan saluran air dan limbah, jaringan pipa air, hingga penyebaran pelayanan kesehatan, keamanan, dan administrasi-birokrasi. jadi alih-alih membereskan masalah Jakarta, solusi DP 0% ini justru berpeluang mewariskan problem makin dahsyat kepada gubernur penerus mereka nanti.

Sudahkah Anies Sandi memikirkan ini? Akan dibawa ke mana Jakarta oleh mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun