SDGs (Sustainable Development Goals) atau tujuan pembangunan berkelanjutan adalah suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan bisa tercapai pada tahun 2030. SDGs adalah rencana lanjutan yang disusun setelah MDGs (Millenium Development Goals). MDGs adalah komitmen 189 negara yang tergabung dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang disusun saat KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Milenium di New York pada September 2000. MDGs berisi delapan tujuan pembangunan untuk dicapai pada tahun 2015.Â
Masing-masing tujuan MDGs memiliki indikator untuk menilai apakah suatu negara sudah berhasil mencapainya atau belum. Dari 67 indikator MDGs, Indonesia telah sukses mencapai 49 indikator pada tahun 2015. Hal ini merupakan kabar baik karena pencapaian Indonesia di MDGs telah melebihi 50%.
MDGs adalah rencana 15 tahun, dari tahun 2000 hingga 2015. Sebelum MDGs berakhir, para kepala negara bertemu pada UN Summit on MDGs di tahun 2010 untuk merumuskan agenda pembangunan dunia pasca 2015. Dalam UN Conference on Sustainable Development yang dilaksanakan pada tahun 2012, para kepala negara menyepakati dokumen "The Future We Want". Dokumen tersebut berisi kondisi yang diinginkan pada masing-masing aspek, seperti aspek sosial dan aspek ekonomi secara global. Penyusunan agenda pembangunan akhirnya disepakati dalam Sidang Umum PBB pada September 2015, yaitu SDGs (Sustainable Development Goals) yang berlaku dari tahun 2015 hingga 2030.
Di MDGs, para kepala negara telah menginisiasi pembangunan dunia. Oleh karena itu, pasca 2015, pembangunan yang sudah dilakukan harus dipelihara dan dibuat berkelanjutan sehingga diberi nama Sustainable Development Goals. SDGs bertujuan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perbedaan antara MDGs dan SDGs terletak pada jumlah negara yang berpartisipasi. SDGs lebih komprehensif yang artinya lebih banyak negara yang ikut berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan dunia. SDGs juga lebih menekankan pada pemenuhan HAM (Hak Asasi Manusia) sehingga tidak ada diskriminasi dalam bidang apapun. Selain itu, pendanaan SDGs lebih banyak karena sumber dana tidak hanya dari negara maju saja, tetapi juga berasal dari sektor swasta. SDGs lebih bersifat inklusif, artinya pembangunan yang dilakukan diharapkan bisa menjangkau seluruh warga dunia, bahkan yang berada di daerah terpencil sekalipun. Demi mewujudkan SDGs, seluruh pihak diharapkan ikut terlibat membantu pemerintah, termasuk juga organisasi kemasyarakatan.
SDGs memiliki 17 tujuan dan 169 indikator. Artikel ini akan fokus membahas poin SDGs ketiga, yaitu kesehatan dan kesejahteraan. Target dari SDGs ketiga adalah menjamin hidup yang sehat dan meningkatkan kesehatan/kesejahteraan bagi semua penduduk pada semua usia. Â
Ada 13 indikator untuk menilai poin SDGs ketiga telah tercapai atau belum. Indikator yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut adalah indikator kedelapan. Indikator ini berisi tentang pentingnya mencapai cakupan kesehatan universal (universal health coverage). Artinya, seluruh masyarakat Indonesia harus mempunyai jaminan kesehatan untuk melindungi dirinya dari risiko keuangan dan memastikan dirinya mendapatkan akses layanan kesehatan esensial yang berkualitas. Selain itu, akses obat-obatan dan vaksin esensial harus aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau untuk semua.Â
Universal health coverage tidak berarti seluruh biaya perawatan untuk semua penyakit ditanggung negara, tetapi setidaknya biaya perawatan harus terjangkau agar tidak memberatkan finansial pasien. Di Indonesia, badan yang menyelenggarakan universal health coverage adalah BPJS Kesehatan.
Kondisi yang melatarbelakangi disusunnya indikator kedelapan pada poin SDGs ketiga adalah setengah dari penduduk di seluruh dunia tidak memiliki jaminan perawatan kesehatan esensial dan lebih dari 800 juta penduduk di seluruh dunia menghabiskan sedikitnya 10% dari pendapatan bulanannya untuk membayar biaya perawatan kesehatan. Bahkan, menurut survei, 100 juta di antaranya sampai jatuh miskin karena membayar biaya perawatan kesehatan.
Studi The Global Burden of Disease pada tahun 2019 bertujuan untuk melihat beban penyakit di seluruh dunia. Berdasarkan studi tersebut, penyakit gigi dan mulut dialami oleh 3.5 milyar penduduk dunia. Apabila dilihat lebih detail, 2 milyar penduduk dunia mengalami gigi berlubang pada gigi permanennya dan 520 juta anak di seluruh dunia mengalami gigi berlubang pada gigi susunya. Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi masalah kesehatan masyarakat karena angka kejadiannya tinggi, berdampak pada kualitas hidup, dan memerlukan biaya perawatan yang tinggi.
Jika kesehatan gigi dan mulut tidak tercapai walaupun kesehatan secara umum tercapai, maka poin SDGs ketiga dianggap belum terpenuhi.Â
Tujuan yang disampaikan dalam SDGs ketiga adalah menjamin hidup yang sehat dan meningkatkan kesehatan/kesejahteraan bagi semua penduduk pada semua usia. Arti sehat menurut Kemenkes RI adalah sehat fisik, sehat sosial, dan sehat jiwa. Sehat fisik artinya memiliki badan yang sehat dan bugar. Sehat sosial artinya mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Sehat jiwa artinya merasa senang dan bahagia. Apabila seseorang menderita sakit gigi walaupun kesehatan secara umum tercapai, tetap saja ketiga aspek sehat tersebut tidak terpenuhi.
Masalah kesehatan gigi dan mulut memiliki faktor risiko yang sama dengan penyakit kronis lainnya. Contohnya, merokok adalah faktor risiko dari periodontitis (masalah pada jaringan penyangga gigi) dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, diet yang tinggi gula merupakan faktor risiko dari gigi berlubang dan diabetes mellitus.
Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai poin SDGs ketiga adalah memasukkan perawatan kesehatan gigi dan mulut esensial menjadi bagian dari universal health coverage agar definisi sehat yang dicapai bisa menyeluruh secara fisik, sosial, dan jiwa.Â
Karena masalah kesehatan gigi dan mulut memiliki faktor risiko yang sama dengan penyakit kronis (sharing common risk factors), maka integrasi perawatan kesehatan perlu dilakukan agar perawatan kesehatan tidak terkotak-kotak. Contohnya, ketika tenaga kesehatan memberikan perawatan diabetes mellitus, maka masalah kesehatan gigi dan mulut yang menyertainya, seperti gigi berlubang pun juga harus ikut dirawat. Kerja sama antartenaga kesehatan menjadi poin penting untuk bisa mencapai integrasi perawatan kesehatan. Adanya kerja sama ini memungkinkan terjadinya kolaborasi untuk menanggulangi penyakit kronis maupun penyakit gigi dan mulut. Untuk mengetahui perawatan gigi apa saja yang bisa ditanggung BPJS Kesehatan, terdapat buku panduan praktis bagi peserta JKN yang berjudul "Pelayanan Gigi & Prothesa Gigi". Buku ini dapat diakses dalam bentuk e-book yang beredar di internet.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H