Arshinta masih terduduk di sudut sunyi kamarnya yang tak begitu luas. Ia menekuri diri dalam kepungan nasib yang melemparnya jauh dari alur perasaan cinta yang sesungguhnya. Seperti mimpi saja semuanya berlalu tanpa sesal. Perlahan buliran bening menganak sungai di kedua pipinya. Menangis bukan berarti menyesali, tapi lebih kepada bahagia karena inilah pilihan.
Setahun yang lalu ia mengenal pemuda dari pulau seberang. Yang namanya cinta, kita tidak bisa menebak kapan datang dan perginya. Tapi anehnya, ia seolah tidak pernah merasakan cinta sedikitpun ketika mengenal pemuda tersebut.
"Aku tidak mencintai siapapun sekarang. Entah, apa mungkin ini karena rasa kecewa itu tak pernah bisa kuhindari," kata Arshinta pada suatu senja di tepian Senggigi.
"Jika kau tak mencintainya, kenapa engkau mau menerimanya dalam kehidupanmu?
"Inilah kesalahanku, Ran. Seharusnya ia tahu bahwa aku sudah tak mempercayai adanya cinta sejak ia memperlakukanku tak lebih dari sekedar pemuas nafsu,"
"Kau aneh. Kau tahu? Menerimanya sama dengan menyakitinya dan menyakiti perasaanmu juga,"
"Lebih sakit mana, cinta karena nafsu atau aku meninggalkannya?
"Sama-sama menyakitkan. Apakah tak ada pilihan lain?
"Sudah dari beberapa bulan yang lalu kami merencanakan pernikahan, Ran. Tapi apa yang kudapat?
"Apa?
"Kekecewaan,"