Di Bali terdapat lebih dari 1.940 desa adat yang memiliki ciri khas dan adat-istiadatnya sendiri-sendiri. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari "kedaulatan" desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan diakui oleh negara dengan tata kelola, adat istiadat dan tradisinya masing-masing. Hal tersebut mengakibatkan adanya sedikit perbedaan-perbedaan kecil terhadap suatu ketentuan adat di masing-masing desa adat, termasuk untuk urusan pewarisan.
Di balik mayoritas desa adat di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal secara murni, terdapat pula beberapa desa adat yang sudah menerapkan sistem kekerabatan patrilineal tersebut dengan sedikit "modifikasi". Salah satu contohnya adalah dengan adanya sistem perkawinan nyentana. Perkawinan nyentana adalah suatu istilah perkawinan di mana seorang laki-laki (suami) dipinang (diminta) oleh keluarga wanita (istri) dan masuk ke dalam garis leluhur keluarga istri serta melepaskan ikatan keturunan dari keluarga asalnya.
Perkawinan nyentana merubah status "purusa" seorang laki-laki menjadi status "pradana" (perempuan) dan sebaliknya merubah status "pradana" wanita menjadi status "purusa" (laki-laki). Sehingga dalam sistem perkawinan nyentana ini, seorang perempuan bisa menjadi ahli waris orang tuanya dengan di rubahnya status pradana yang melekat padanya menjadi status purusa.
Awalnya perkawinan nyentana dilakukan dalam upaya untuk mencegah putusnya garis keturunan dalam keluarga, tetapi perkembangan selanjutnya adalah untuk tetap mempertahankan anak perempuan tersebut dalam keluarga. Selain itu, perkawinan nyentana juga merupakan sebuah solusi dibalik adanya kewajiban adat berupa ayahan adat yang harus di jalankan atau diteruskan oleh orang tua kepada anak atau penerusnya. Ayahan adat adalah kewajiban bagi seluruh warga desa adat yang menempati atau mengusahakan tanah adat di suatu desa adat untuk menyumbangkan tenaga dan/atau benda (ngayahang) yang bersifat terus menerus selama keluarga tersebut masih menempati atau mengusahakan tanah adat setempat.
Namun terdapat pertanyaan apabila perkawinan nyentana tersebut dihubungkan dengan Yurisprudensi MA Nomor: 298 K/Sip/1958 tanggal 29 Oktober 1958 di atas yang menentukan "seorang janda dapat menguasai harta gono-gini sampai ia meninggal atau sampai ia kawin lagi": Apakah suami yang berstatus sebagai pradana dan memutuskan untuk menikah lagi dapat mewarisi harta peninggalan istri yang berstatus sebagai purusa, yang mana harta peninggalan tersebut merupakan warisan dari keluarga almarhum istri ?
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI YANG BERSTATUS SEBAGAI PEREMPUAN
Apabila mengacu kepada ketentuan Yurisprudensi MA Nomor: 298 K/Sip/1958 tanggal 29 Oktober 1958 tersebut, tentu dapat dipahami bahwa setelah memutuskan untuk menikah, tentu suami yang berstatus sebagai pradana tersebut tidak dapat menguasai dan mewarisi harta peninggalan keluarga almarhum istrinya lagi. Namun Mahkamah Agung kembali mengeluarkan kaidah hukum berdasarkan Yurisprudensi MA Nomor: 358 K/Sip/1971 tanggal 14 Juli 1971 yang secara implisit menentukan bahwa suami yang berstatus pradana dan memutuskan untuk menikah lagi setelah istrinya meninggal tidak sepenuhnya akan kehilangan hak menguasai dan mewarisi harta peninggalan mantan istrinya. Ketentuan tersebut dapat dilihat dari bunyi kaidah hukum yang termuat di dalam Yurisprudensi MA Nomor: 358 K/Sip/1971 tanggal 14 Juli 1971:
"Terbukti bahwa Tergugat I sebagai Nyeburin sentana pada Ni Keneng (dalam perkawinannya dengan Ni Keneng, terbukti Tergugat I berstatus perempuan) dan telah terbukti pula bahwa Ni Keneng meninggal dunia, Tergugat I kawin lagi tanpa persetujuan semua keluarga terdekat dari almarhum Nang Runem, maka telah terbukti Tergugat I menyalahi darmanya sebagai janda (Tergugat I menurut adat berstatus perempuan) dan menurut adat Tergugat I tidak boleh lagi tinggal di rumah almarhum Nang Runem serta mewarisi harta peninggalan Nang Runem."
Bahwa berdasarkan kaidah Yurisprudensi MA Nomor: 358 K/Sip/1971 tanggal 14 Juli 1971 tersebut dapat dipahami bahwa dicabutnya hak waris suami yang berstatus sebagai pradana di keluarga almarhum istrinya adalah karena ia menikah tanpa persetujuan semua keluarga terdekat dari almarhum istrinya. Sehingga suami yang berstatus pradana tersebut dikatakan telah menyalahi darmanya (kewajibannya) sebagai janda dan menurut ketentuan adat suami yang berstatus pradana tersebut tidak boleh lagi tinggal di rumah almarhum istrinya serta mewarisi harta peninggalan keluarga almarhum istrinya.
Namun ketentuan tersebut jelas karena suami yang berstatus pradana tersebut menikah tanpa persetujuan semua keluarga terdekat dari almarhum istrinya, namun bagaimana apabila sebaliknya ?
Apabila suami yang berstatus sebagai pradana tersebut meminta persetujuan semua keluarga terdekat almarhum istri dan ternyata diizinkan tentu dapat ditarik pengertian bahwa suami yang berstatus sebagai pradana tersebut masih dapat menguasai dan mewarisi harta peninggalan keluarga almarhum istrinya. Namun tentu juga beserta kewajibannya yang melekat, yaitu menjalankan kewajiban ayahan adat keluarga almarhum istrinya. Karena tidak mungkin apabila hak menguasai dan mewarisi harta peninggalannya dicabut, namun kewajiban untuk menjalankan kewajiban ayahan adat tetap dibebankan kepada mantan suami. Dan sebaliknya, tidak mungkin hak mewarisi harta keluarga almarhum istri tetap diberikan namun kewajiban ayahan adat ditinggalkan.