"Iya nanti malam kita berdua berencana mau bakar-bakar singkong dan ubi rambat. Kamu mau ikut enggak?" Tanya Joko.
"Loh, enggak bahaya ta? Ini kan daerah penuh sampah. Kok kalian mau bakar-bakar? Nina mengingatkan.
"Iya, aku sih tadinya hanya mengumpulkan sampah-sampah plastik untuk dijual. Eh, ternyata pikiranku pada kayu-kayu yang berserakan. Jadilah aku mau bikin api di malam nanti. Setelah kamu ingatkan mungkin aku ingin membatalkan saja." Wajah Mali agak kecewa tapi ia terlihat nyaman saja.
"Enggak apa-apa Mali, kan kita bisa bikin mainan dari sampah-sampah itu. Gak harus dijual sih. Bisa saja kita bikin mainan dari botol minuman, seperti mobil-mobilan, kereta-keretaan atau kotak pensil. Nampaknya itu lebih menarik, kan?" Joko sedikit memberikan pengertian pada Mali.
Meskipun kehidupan mereka tidak mudah, Mali dan Joko selalu berhasil menemukan kegembiraan di setiap hari mereka. Mereka sering kali membuat mainan dari barang-barang bekas yang mereka temukan: boneka dari kain lama, perahu dari kaleng, atau layangan dari kertas dan plastik. Kreativitas mereka tidak terbatas, dan mereka selalu menemukan cara untuk saling menghibur satu sama lain.
"Baiklah, kita kumpulkan dulu barang-barang bekas yang mana yang bisa dijadikan mainan. Nanti kalau sudah didapat dan cukup, sama-sama kita bersihkan dan besok kita bisa buat bersama. Setuju nggak teman-teman?" Tanya Mali bersemangat.
"Setuju. Setuju" Nina dan Joko menyahut dengan perasaan gembira.
Seketika itu mereka berlalu setelah langit begitu terik dan suara-suara adzan bersautan.
Pada suatu hari, ketika Mali menemukan sebuah buku cerita yang agak rusak di antara tumpukan kertas bekas, ia dan Joko menghabiskan waktu berjam-jam membacanya di bawah pohon tua yang rimbun di pinggir pemukiman. Mereka terbuai oleh cerita-cerita tentang petualangan yang jauh, dunia yang belum pernah mereka kunjungi, dan makhluk-makhluk ajaib yang hanya ada dalam imajinasi.
Ketika senja menjelang, mereka kembali ke pemukiman dengan senyum bahagia di wajah mereka. Mereka menceritakan kembali cerita-cerita yang mereka baca kepada teman-teman mereka yang lain, yang mendengarkan dengan penuh kagum.
Malam itu, di bawah langit berbintang yang indah, semua anak-anak pemulung berkumpul di sekitar api unggun yang mereka nyalakan dari kayu-kayu bekas. Mereka bernyanyi dan menari, melupakan sejenak semua kesulitan hidup mereka. Mereka tertawa, mereka bercanda, dan mereka merasa begitu dekat satu sama lain seperti sebuah keluarga besar.