"...beberapa tahun terakhir banyak perusahaan besar justru merencanakan pengurangan pegawai sebagai salah satu dampak dari adopsi AI. Menurut survei diterbitkan oleh perusahaan AS Challenger Gray, kemunculan AI memberi ancaman nyata terhadap pekerjaan kantoran." Tirto.id, 17 Juni 2024
Artificial intelligence (AI) adalah kecerdasan buatan yang langsung maupun tidak langsung saat ini seperti pandemi dan virus bagi hampir seluruh lini kehidupan manusia. Tidak hanya bagi kalangan perkotaan, bagi kalangan perdesaan, teknologi ini sudah dikenal. Bukan hanya kalangan terdidik dengan pendidikan yang elite, anak-anak usia sekolah dasar sudah banyak memanfaatkan AI ini demi kebutuhan hidup mereka.
Tentu saja dengan fenomena ini banyak orang yang merasa terbantu dan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk terus mengeksplorasi fasilitas ini demi untuk hal-hal pribadi, bersosialisasi maupun kegiatan mencari penghasilan atau pemenuhan kebutuhan dalam pekerjaan.
Pada mulanya kita akan bersentuhan dengan banyak alat konvensional, seperti ketika ingin membuat sketsa atau gambar. Â Nah, kini cukup dengan fasilitas situs atau aplikasi ber-platform AI semua bisa dilakukan dengan amat cepatnya. Tidak perlu ribet mencari papan, kertas, pensil dan sebagainya, kini cukup mengetik prompt dan hasil yang diharapkan akan seketika jadi. Seperti sulap sim salabim semua pekerjaan menjadi lebih mudah.
Tak pelak dengan kemudahan itu membuat kita terjebak pada pola yang penting jadi, meskipun cara-cara yang digunakan cukup mudah dengan bantuan AI. Tinggal ketik perintahnya maka hasilnya pun bisa kita dapatkan.
Meskipun ketika menggunakan teknologi yang dapat dibilang free alias gratis ini tentu amat terbatas, berbeda sekali jika penggunanya mau merogoh kocek yang dalam, tentu hasil yang diinginkannya lebih kompleks dan lengkap.
Namun, melihat betapa mudahnya manusia memanfaatkan teknologi, secara tidak sengaja penggunanya telah kehilangan daya dan potensi berpikir dan bekerja pada tataran lebih rendah. Bagaimana tidak, ketika seseorang harus menjadi ahli ketika hendak melukis dan itu diawali dengan basic kemampuan yang bukan kaleng-kaleng, tiba-tiba tidak lagi menggunakan basic kemampuannya, justru menyerahkan sepenuhnya pada teknologi AI.Â
Belum lagi jika ternyata untuk membuat gambar tiga dimensi yang pada awalnya seseorang harus kuliah dulu minimal SMK desain grafis misalnya dan setinggi-tingginya SI Jurusan Desainer (maaf jika keliru) saat ini anak-anak SD dan SMP banyak yang bisa melakukannya.
Dari sudut pandang nilai ekonomis, tentu ini adalah kemajuan dan kemudahan yang diperoleh dari kemajuan teknologi. Meskipun faktanya, pihak yang mampu membangun "bisnis" AI inilah yang peraih keuntungan yang besar. Tidak sulit menghitung jika satu aplikasi berbayar dinilai satu juta rupiah saja, jika penggunanya ada satu juta orang, tentu nilainya cukup fantastis. Sayangnya di belahan dunia kedua atau ketiga, raihan keuntungan dari bisnis teknologi ini masih dibilang kurang.
Mungkin kurang perlu untuk saya sampaikan perolehan harta dari bisnis AI ini bagi para owner-nya. Karena tentu sangatlah banyak dan menggiurkan, sedangkan negeri lain yang masih sebatas pemakai tetap saja menjadi pemakai, atau sebagai distributor produk ini dengan perolehan bagi hasil atau penghasilan sebagai agen nilainya jauh dari para pemilik perusahaan.