Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tugas Modul 1.4. Koneksi Antar Materi, Kesimpulan dan Refleksi

15 Juli 2023   06:56 Diperbarui: 16 Juli 2023   07:38 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tugas modul 1.4 Koneksi Antar Materi kali ini saya ingin memberikan kesimpulan mengenai Budaya Positif.  Sesuai dengan nilai dan peran guru seharusnya mampu  menciptakan Budaya Positif di sekolah yang diawali dengan  bagaimana memahami tentang budaya positif tersebut yang sesuai dengan nilai-nilai kebajikan. Yaitu nilai tanggung jawab, kemandirian, gotong royong, empati, mencintai, menyayangi, tertib, menghormati dan menghargai, kepedulian dan sebagainya dengan memahami peran guru dalam menciptakan disiplin positif.

Disiplin positif dapat terwujud di sekolah bilamana diawali dengan teladan dari gurunya. Adanya keyakinan dari diri murid sendiri berupa motivasi intrinsik yang akan mempengaruhi bagaimana disiplin positif dapat terjadi. Terutama dengan melakukan pembiasaan di sekolah dan melakukan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal tadi. 

Bagaimana guru dapat menggerakkan murid untuk menciptakan keyakinan kelas, yang pada akhirnya secara berkesinambungan mengarahkan murid-murid tersebut bagaimana berperilaku sesuai dengan keyakinan yang telah dibuat. Menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi dengan segitiga restitusi, yaitu: menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan. 


Dengan segitiga restitusi ini diharapkan murid-murid secara bertanggung jawab dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dengan keyakinan diri dan nilai-nilai kebajikan.

Lalu keterkaitan antara budaya positif terhadap Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak serta Visi Guru Penggerak yaitu bahwa Budaya positif merupakan sebuah konsekuensi dari penerapan filosifi pendidikan KHD yang dimaksudkan untuk menuntun murid sesuai dengan kodrat kemanusiaan, alam dan zamannya. 

Budaya positif hakekatnya merupakan bagian dari kebutuhan murid dalam mencapai generasi yang merdeka. Bagaimana mereka terbiasa dengan kebiasaan baik yang merupakan implementasi dari kepribadian yang baik pula. Sebagaimana dipahami bahwa pendidikan adalah menuntun kodrat anak sesuai nilai kemanusiaan, alam dan zamannya yang tentu saja dengan nilai-nilai dan peran guru penggerak akan mampu memaksimalkan nilai dan perannya dalam mewujudkan generasi yang sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila yaitu: Beriman bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak  mulia, Mandiri, Gotong Royong, Bernalar Kritis, Kreatif dan Berkebhinekaan Global,  dan semua itu dapat diwujudkan dalam rumusan dan implementasi dari Visi Guru Penggerak. 

Visi Guru Penggerak merupakan harapan, impian, cita-cita dan tujuan di masa depan terkait bagaimana murid-murid kelak. Dan dengan mengaktualisasikan budaya positif maka secara konsisten sebagai perwujudan langkah nyata dalam membentuk generasi yang diharapkan di masa depan.

Maka dari itu dengan berpatokan pada nilai-nilai dan peran guru penggerak tersebut, pada akhirnya akan terwujudnya karakter murid-murid sesuai dengan visi guru penggerak yang telah dirumuskan sebelumnya. Semua itu dapat tercapai dengan adanya tindakan yang konsisten dan kolaboratif dengan semua elemen di dalam sekolah dan masyarakat.

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan mengenai peran saya sebagai guru penggerak dalam menciptakan budaya positif di sekolah, saya memahami bahwa dalam mewujudkannya guru perlu memahami konsep tentang disiplin positif, yaitu kebiasaan-kebiasaan baik yang mengikuti pola yang konsisten dalam kehidupan sehari-hari di sekolah berdasarkan teori-teori kontrol. Bagaimana semestinya murid menjadi subyek yang mampu mengontrol dirinya sendiri bagaimana melakukan disiplin positif. 

Murid menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan dorongan dari dirinya sendiri dan guru hanyalah memberikan pertanyaan-pertanyaan dukungan bagaimana murid memahami solusi atas persoalan yang dialami dalam menerapkan budaya positif yang tujuannya agar mereka dapat menyelesaikannya dengan mandiri dan bertanggung jawab. 

Pada mulanya saya memahami bahwa murid-murid dapat terbentuk menjadi sosok yang disiplin hanya dengan menempatkan diri sebagai penghukum dan pengamat, namun akibatnya murid-murid tidak memahami hakekat dari apa yang dilakukannya dan hanya memahami bahwa akibat dari kesalahannya adalah sebuah hukuman yang terkadang justru menyakiti fisik dan psikisnya. 

Bahkan meskipun guru menempati posisi sebagai pemantau dengan menunjukkan aturan-aturan di sekolah, hakekatnya murid-murid tadi tidak secara ikhlas mematuhi apa yang seharusnya mereka patuhi, di lain kesempatan semua peraturan itu dianggap hal yang menakutkan. Padahal sejatinya pembentukan karakter itu diawali oleh pemahaman murid mengenai apa dan bagaimana mereka seharusnya sebagai murid dan menempatkan mereka sebagai pribadi yang mesti bertanggung jawab dengan apa yang akan mereka lakukan. Mereka adalah pribadi yang merdeka yang menempatkan dirinya sebagai hamba Tuhan, makhluk individu dan makhluk sosial.

Aktivitas murid pun sejatinya bukanlah karena aturan sepihak dari sekolah, namun berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang telah disusun bersama-sama dalam keyakinan kelas. Murid-murid menyadari bahwa ketika mereka bertindak, berlaku dan bertutur kata harus sesuai dengan keyakinan kelas yang telah mereka sepakati.

Menariknya adalah ketika awalnya murid mendapatkan hukuman atau konsekuensi dari kesalahannya, karena mereka memahami nilai-nilai kebajikan yang tersusun dalam keyakinan kelas tadi, maka secara sadar dan dengan kontrol diri dari masing-masing individu mau mengikuti keyakinan yang telah mereka sepakati.

Perubahan cara berpikir saya sebagai guru dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun di sekolah adalah bahwa dalam mewujudkan budaya positif seharusnya guru mampu menggiring siswa dalam pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai kebajikan universal yang dipahami secara mendalam dan menjadi dasar bagi murid-murid dalam melakukan aktivitasnya di kelas dan sekolah. 

Guru pun sejatinya adalah teladan yang akan ditiru atau dicontoh oleh para muridnya bagaimana menerapkan budaya positif di sekolah. Jika guru sudah mampu menerapkannya secara konsisten, maka diharapkan murid-murid pun dapat melakukannya secara konsisten pula.

Pengalaman-Pengalaman yang saya alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul budaya positif baik di kelas maupun di sekolah.

Sebagaimana dipahami bahwa budaya positif adalah bagaimana menerapkan kebiasaan-kebiasaan baik yang bertolak ukur pada pemahaman nilai-nilai kebajikan, bagaimana anak-anak mulai memahami tentang keyakinan kelas yang pada akhirnya mereka secara sadar mengamalkannya dalam setiap perilakunya di sekolah. 

Namun demikian anak-anak berkebutuhan khusus adalah pribadi yang unik dengan aneka hambatan dan potensi yang dimilikinya, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan bagaimana berperilaku yang baik. Belum lagi karena pemahaman tentang konsep-kosep masih sangat terbatas, maka sejauh ini masih membutuhkan bimbingan dan diupayakan secara internal agar mereka memahami dan mau melakukannya.

Meskipun dalam keterabatasan pemahaman mengenai konsep-konsep kata dan kalimat dalam keyakinan kelas dan budaya positif, saya meyakini bahwa budaya positif bukan sekedar dipahami kata perkata atau perkalimat, tapi bagaimana diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selalu mengingatkan dan memberikan arahan terbaik bagaimana menerapkan budaya positif tadi tanpa mengurangi keyakinan bahwa setiap murid adalah istimewa dan memiliki potensi masing-masing.

Ketika menerapkan budaya positif di kelas, hal baiknya adalah anak-anak sedikit demi sedikit sudah mampu menerapkannya dengan sedikit bimbingan. Misalnya bagaimana mereka mau menjaga kebersihan kelas dengan tidak membuang sampah sembarangan, mau menolong sesamanya meskipun tidak disuruh pada hal-hal yang sangat sederhana sekalipun.

Hal yang perlu diperbaiki adalah bagaimana anak-anak seharusnya mulai menyadari hakekat budaya positif tadi.  Jadi anak tidak lagi harus dibimbing dan diajarkan bagaimana membersihkan kelas, tapi dengan keyakinan sendiri mereka melakukannya. Namun karena anak-anak yang saya bimbing adalah murid di sekolah dasar luar biasa dan masih di kelas permulaan, maka bimbingan secara menyeluruh masih sangat mereka butuhkan.

Lalu, bagaimana saya berinteraksi dengan 5 posisi kontrol, baik sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, posisi teman, posisi pemantau dan manajer, selama ini saya masih menggunakan posisi pemantau dimana anak-anak melakukan dan tidak melakukan dengan melihat peraturan sekolah yang sangat saklek. 

Namun setelah memahami modul ini saya berusaha menerapkann teori restitusi secara sederhana bagaimana menerapkan konsep segitiga restitusi itu sebagai langkah penyelesaikan masalah-masalah muncul di kelas/ sekolah. 

Ketika saya menggunakan teori pemantau memang murid mendapatkan sanksi atau konsekuensi atas kesalahan yang telah dilakukannya, tapi melupakan hakekat bahwa setiap anak memerlukan tuntunan dan bimbingan dalam menemukan sendiri solusi atas masalah-masalah yang mereka temui. 

Seperti ketika mereka berebut makanan, buku, krayon atau membuang sampah sembarangan, maka dengan segitiga restitusi mereka semakin memahami bahwa semua hal itu dipahami sebagai hal yang tidak tepat dan mereka memahami bagaimana menyelesaikan persoalan itu dengan lebih baik.

Sebelum mempelajari modul 1.4 saya belum sepenuhnya menggunakan segitiga restitusi dan hanya memberikan konsekuensi atas apa yang mereka lakukan. Namun setelah mendapatkan materi ini saya berusaha untuk menggunakannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada murid. Tahap yang saya lakukan adalah menstabilkan identitas yang bertujuan agar sang anak mau mengakui kesalahannya tanpa rasa takut. 

Langkah kedua meyakinkan murid bahwa setiap individu pernah melakukan kesalahan dan menanyakan keyakinan kelas apa yang telah mereka langgar untuk kemudian anak-anak dibawa pada pemahaman tentang mau seperti apa, kemudian apa yang ingin dilakukan anak-anak sesuai dengan keyakinan kelas.

Hal lain yang mesti saya pelajari dalam menciptakan budaya positif adalah bahwa budaya positif ini tidak dapat dilakukan sendirian dan hanya di dalam satu kelas saja, tapi butuh dukungan dari semua warga sekolah. Karena dengan dukungan dan kolaborasi dari semua warga sekolah, budaya positif ini dapat tercipta dengan baik dan selaras dengan ekosistem sekolah. Apalagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang terus membutuhkan motivasi dari guru dan semua warga sekolah agar mereka mampu memahami bahwa budaya positif tersebut baik untuk dilakukan secara terus-menerus menjadi budaya yang positif di sekolah demi mewujudkakn murid di masa depan yang berkarakter Profil Pelajar Pancasila.

Salam dan bahagia 

Metro, 15/07/2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun