Pernahkah kita menganggap bahwa seolah-olah pendidik adalah manusia yang paling berkepentingan terhadap pendidikan anak-anak? Atau menganggap bahwa pendidikan itu semata-mata menuntut anak-anak seperti apa mau pendidiknya?
Ya, mungkin di antara kita termasuk penulis masih menganggap bahwa anak-anak sebagai objek pendidikan hingga memberikan label bahwa anak-anak adalah "korban" dari sebuah agenda pendidikan, tanpa melihat bahwa hakikatnya pendidikan itu adalah menuntun anak-anak sesuai dengan kodrat kemanusiaan, kodrat alam dan semestinya menyesuaikan kodrat zamannya.
Bahkan ada pula yang boleh jadi sampai detik ini menganggap bahwa anak-anak didik adalah mesin yang tengah kita ciptakan sesuai dengan kemauan kita, tanpa melihat kemampuan, kebutuhan dan potensi yang dimilikinya dan untuk apa mereka terlahir di dunia ini.
Hingga masih ditemukan berbagai persoalan yang dialami oleh anak-anak, seperti anak-anak yang malas dalam belajar, guru yang dianggap membosankan, tujuan pembelajaran yang hambar dan kurang diterima anak-anak, serta bentuk lain yang lebih ekstrim dimana anak-anak mengalami depresi dalam menjalani proses pendidikannya.Â
Itu di satu sisi yang dialami anak-anak dalam proses penemuan jati dirinya dalam pendidikan. Dan di sisi lain ada pula sekolah, keluarga dan lingkungan yang justru belum menjadi wadah yang menyenangkan bagi tumbuh kembang anak-anak tersebut.
Mengapa demikian? Apa yang semestinya kita lakukan?
Perlu kita pahami bahwa anak-anak atau murid-murid kita adalah sosok makhluk yang memiliki potensi yang seringkali kita abaikan.Â
Seperti apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa, anak-anak mesti tumbuh sesuai kodrat kemanusiaannya dengan fisik dan jiwa penuh kasihnya, anak-anak mesti tumbuh sesuai kodrat alam, di mana setiap anak memiliki latar belakang yang berbeda; baik anak-anak yang lahir dan tumbuh di daerah pedesaan atau perkampungan, dan ada pula yang hidup di daerah perkotaan.Â
Selain itu ada anak yang tumbuh di lingkungan masyarakat petani, nelayan, pedagang, pengusaha yang tentu saja memiliki karakteristik yang berbeda. Juga anak-anak ada yang hidup dari kalangan kaum papa dan ada juga yang lahir dan dibesarkan dari kalangan terpandang.
Ini adalah potret nyata bahwa anak-anak memiliki kodrat alam yang berbeda. Yang tentu saja tidak bisa disamaratakan apa kebutuhan dan keinginannya, dan tentu saja tidak bisa disamakan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Semua anak secara kodrat (fitrah) adalah berbeda.