Di tempat lain, di sebuah bangku kecil Yuli tengah asyik menulis pesan untuk Adi. Pria yang kini ia cintai. Dalam layar ponselnya ia menulis "Mas, aku ingin membagi kisah kita dengan orang tuamu. Aku ingin engkau perkenalkan dengan mereka. Jangan biarkan aku menunggu mas!" Lalu ia kirim pesan itu kepada Adi. Ia berharap Adi mengerti apa yang ia inginkan.
Suara ponsel Adi berbunyi.
Saat itu Adi tengah santai di kebun, sedangkan ponselnya berada di kantung celana kumuhnya itu. Celana satu-satunya yang ia gunakan untuk membantu ibunya di kebun.
Dalam batin Adi berkata, "Siapa yang  ngirim pesan sih?" Kemudian ia ambil ponsel itu dari balik celananya. Ia buka ponsel itu dan terlihat notifikasi pesan masuk dari nama seseorang, Yuli. Wanita yang kini telah memenjarakan hatinya.
"Kenapa Yuli ingin cepat ketemu keluargaku. Aku kan sudah bilang, saat ini belum bisa. Sedangkan ayahku sendiri memintaku bekerja dulu agar bisa membahagiakan mereka. Aku ingin membelikan tanah ladang agar bisa dijadikan garapan di masa tua nanti." Dalam batin Adi  berbicara dengan dirinya sendiri. Seolah-olah ia  ingin berkata, "pahamilah aku, aku belum mampu."
Dengan ragu Adi membalas pesan kekasihnya itu. "Maaf aku ya Dik, bukan aku tidak ingin kamu ke rumah. Tapi aku belum siap."
"Lalu sampai kapan kamu sembunyikan aku?  Yuli kembali mengirim pesan  kepada Adi. Ia berharap ada jawaban yang pasti.
"Aku nanti ke rumahmu. Aku ingin menceritakan semuanya."
Segera Adi meluncur ke rumah Yuli. Di sana wajah Yuli nampak datar. Ia duduk di bangku beranda rumahnya. Ia memperhatikan kedatangan Adi dari kejauhan. Sedangkan Adi bergegas mempercepat laju kendaraannya.
"Aku minta maaf jika sikapku belum jelas. Aku masih dalam dilema. Antara ingin membahagiakanmu atau orang tuaku." Â Adi membuka kata. Sedangkan Yuli memperhatikan wajah Adi lekat-lekat. "Aku hanya ingin memiliki penghasilan dan bisa membantu ayahku membelikannya tanah ladang untuk bertanam sayuran ketika di pabrik tak lagi di butuhkan." Imbuh Adi.
"Yang perlu Mas Adi tahu, aku ini wanita Mas, gak mungkinkan menunggumu dengan tidak pasti. Sedangkan usiaku semakin tua. Kamu tega membiarkan aku menanti ini dengan sangat lama. Ingat Mas, sejak SMA kita sudah pacaran. Mau sampai kapanlagi kita bisa berterus terang?"