Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ketika Pasutri Tak Harus Berteman di Medsos

21 Juli 2020   06:56 Diperbarui: 22 Juli 2020   07:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah sebuah catatan kecil yang kebetulan saya alami sendiri. Bahwa kadang kala dengan pasangan sendiri tak harus dekat di media sosial. Mengapa? Karena media sosial hanya salah satu alat berkomunikasi, sedangkan banyak lini yang bisa dipergunakan untuk menjalin ikatan yang intim antara pasutri.

Seperti ghalibnya, orang yang menjalin pernikahan tentu membutuhkan komunikasi. Komunikasi yang bisa menguatkan ikatan kemistri atau penguat ikatan suami istri tersebut. Banyak pula yang menggunakan banyak saluran komunikasi demi menguatkan jalinan hubungan yang intim.

Namun, tahukah Anda bahwa media komunikasi yang paling tepat adalah yang bisa memberikan kedekatan batin dan paling mungkin dilakukan. Seperti ketika berdekatan fisik, setiap hari bertemu dan bercengkerama di dalam rumah, selayaknya komunikasi itu selalu terjaga. 

Saling menegur, mengingatkan, menyapa say hello atau merayu dengan rayuan manja misalnya, toh tidak sulit. Bahkan amat penting agar kedekatan itu semakin lengket. 

Berbeda sekali jika dengan kondisi tertentu memaksa tidak bisa bertemu wajah, maka penggunaan media komunikasi amatlah penting.

Nah, ketika berbicara tentang media komunikasi, kita selalu menemui dua pilihan. Pertama, media yang sifatnya private atau media komunikasi yang hanya si pengguna yang bisa berkomunikasi dua arah. Misalnya sms atau telepon. 

Yang amat sulit orang lain bisa mengakses komunikasi yang tertutup itu. Mau berbicara apapun tak satupun orang tahu. Kecuali memang ada pihak yang  membajak atau memata-matai komunikasi rahasia itu dengan alat tertentu, tentu ini lain persoalan.

Namun pada prinsipnya ketika menggunakan media yang bersifat pribadi ini, hanya mereka berdualah yang paling tahu apa yang dibicarakan. Orang lain lewat.

Bagaimana dengan media sosial?

Nah, pertanyaan ini sejatinya inti dari tulisan ini. Di manapun dan kapanpun hampir setiap orang menggunakan media sosial. Atau bahasa kasarnya adalah media untuk umum. Siapa saja bisa mengakses apa yang dibagi di media tersebut. Meskipun bisa saja medsos dibuat private dengan hanya melibatkan dua orang. Komunikasi melalui saluran pribadi. Jadi tidak ada satupun teman selain pasangan sendiri. 

Faktanya media sosial selalu dan besar kemungkinan diisi oleh orang banyak. Bahkan tanpa kita mencari teman saja media sosial selalu berusaha mencarikan kita relasi. 

Maka ada fitur add friends atau tambah teman. Bahkan saking pentingnya pesan nambah teman tersebut, di beranda kita selalu muncul nama dengan foto profil yang beraneka rupa. 

Mau tidak mau, kenal tidak kenal, lama-lama kita akan tertarik untuk menjadikan pendatang baru itu menjadi teman kita. Walaupun ngobrol kosong yang nggak jelas, nyatanya tidak butuh waktu lama untuk mendapat teman ribuan. 

Nah, ketika secara tidak langsung karena memiliki banyak teman, maka otomatis apapun yang kita update akan menjadi konsumsi publik. 

Parahnya media sosial kerap diisi oleh "penduduk" yang selalu saja berusaha kepo dan ingin tau persoalan orang lain. Masalah pertama muncul, ketika informasi yang bisa jadi rahasia ternyata menjadi santapan gurih bagi orang-orang yang ingin merusak komunikasi yang awalnya biasa-biasa saja, tentu menjadi preseden buruk. 

Tak sedikit kata-kata yang sekedar curhatan kecil, ternyata justru menjadi hal yang maha dahsyat bahayanya bagi keutuhan rumah tangga. 

Contoh kecil misalnya ketika menulis status "aku bosan" maka konotasinya bisa dengan apa saja, termasuk dengan pasangan sendiri. Padahal fakta yang sesungguhnya adalah bosan karena terlalu lama berdiam diri di rumah atau terlalu lama duduk. Tapi bagi penduduk yang "kepo" tadi semuanya bisa menjadi hal yang negatif.

Terlepas dari paparan di atas, kembali pada inti tulisan ini mengapa kita tidak mesti harus berteman dengan pasangan di media sosial.

Pertama, komunikasi langsung face to face akan lebih romantis.

Percaya atau tidak banyak pasangan yang terlihat romantis di media sosial tidak menjamin romantis di ranjang. Eh, maaf maksudnya romantisme ketika bertemu wajah. Kenapa? Karena kebanyakan orang-orang yang romantis lebih suka menyampaikan segala sesuatunya secara langsung. 

Bagaimana jika status romantis di tempel di beranda media sosial? Maka banyak orang yang membaca dan banyak reaksi yang muncul, positif atau negatif. Yang ujungnya bisa saja kehidupan yang berantakan.

Kedua, banyak hal yang tidak harus menjadi konsumsi publik.

Bayangkan jika setiap mendapati masalah kecil langsung diupdate di media sosial? Apa yang terjadi? Bukannya masalah selesai justru sebaliknya semakin runyam.

Nah, jika saja masalah tersebut cukup berdua saja diselesaikan dengan face to face, maka persoalan kecil bisa selesai dengan manis. Namun sebaliknya jika diumbar di media sosial, bukannya menemukan solusi, kebanyakan berakhir kekecewaan. 

Terlalu banyak perhatian dari orang lain yang sejatinya kurang baik dalam hubungan tersebut.

Ketiga, media sosial seringkali bukan tempat yang tepat untuk berbicara serius.

Pernahkah Anda melihat sosok yang kecewa karena dipermainkan seseorang di media sosial? Sepertinya kita sering disuguhi informasi penipuan. Baik penipuan tentang uang maupun asmara.

Dalam hal asmara seolah-olah penghuninya bisa menjadi problem solver atas masalah kita. Nyatanya hanya gojekan atau guyonan kecil yang kadang terlihat serius. 

Bagaimana jika sosok yang suka bermain-main ini tiba-tiba ikut nimbrung dalam persoalan kita? Tentu negatif akibatnya kan?

Tiba-tiba sosok yang tidak seberapa dikenali ikut nimbrung dalam konflik kita dengan pasangan. Seolah-olah mereka adalah dewa penolong. Eh, nyatanya justru ingin mempermainkan dan menghancurkan semuanya. 

Meskipun ada pula  yang menjadi penyelesai konflik dengan media sosial, meskipun hanya orang-orang tertentu yang kompeten. Selebihnya adalah guyonan atau sekedar bermain-main karena telah menjadi teman.

Intinya, banyak hal yang bisa membuat segalanya hancur karena satu postingan curhatan di media sosial yang justru merusak hubungan. Maka kadang kala kita perlu berprinsip, "Untuk apa mengumbar masalah atau romantisme di media sosial jika di ranjang saja bisa. Ya kaan?" 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun