Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Salah Mengoreksi Tulisan Sendiri? Ini Alasannya!

11 Juni 2018   11:26 Diperbarui: 17 Juni 2018   06:56 2137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menulis bukan sekadar membagikan kalimat-kalimat yang boleh jadi kurang makna dan banyak kesalahan, tapi membagikan hal yang mendekati sempurna dengan makna yang dalam." Kataku

Menulis itu menyenangkan, ya? Khususnya saya sendiri yang seringkali gagal fokus (galfok) jika sehari saja tidak menayangkan tulisan apapun. Serasa ada yang kurang. Meskipun sebenarnya tugas sekolah tidak ada kata pe er, namun memfokuskan diri dan memberi waktu khusus untuk menulis adalah menu wajib sehari-hari.

Meskipun menulis itu menyenangkan, ternyata ketika melihat sekali lagi tulisan sendiri, selalu saja jauh panggang dari api. Berharap tulisan itu memang bagus dan membuat hati kita berkata "yes", namun ternyata terus saja terjadi banyak kesalahan. Minimal kesalahan yang sering saya lakukan adalah salah ketik atau kurang huruf. Seperti ketika mau menulis "sayang", justru tertulis "saya". Jadi maknanya pun berbeda. Belum lagi jika melihat tata bahasanya, kadang gak percaya diri mau menayangkannya.

Saya tidak bisa membahas tentang tata bahasa, perbendaharaan kata dan lain sebagainya. Karena itu semua tergantung seberapa banyak buku yang dibaca dan seberapa serius orang tersebut mempelajari bahasa. 

Saya terlalu takjub pada penulis yang memang latar pendidikannya bahasa dan sastra. Jadi kemampuan dalam berbahasa bisa dianggap piawai. Sama seperti seseorang yang mengenyam pendidikan agama, maka pendidikan agama sedikit banyak akan dikuasainya. Begitu pula seorang akuntan kemampuan bermain-main dengan angka dan uang sudah dianggap seperti makan asam garam.

Memperbaiki tulisan bukanlah hal yang keliru, dan boleh jadi malah penting banget. Minimal penempatan tanda baca pun semestinya lebih baik lagi. Tapi lagi-lagi, tidak ada manusia yang sempurna. Di antara tulisan yang di-publish tetap saja memiliki aneka kesalahan. Saya sering membaca buku ternama yang tentu saja sudah melalui tahapan hingga diterbitkan, menggunakan jasa editor yang tujuannya memperbaiki kesalahan pun ternyata masih ada saja yang keliru.

Sebaik-baiknya atau sepandai-pandainya tupai melompat, maka suatu saat akan jatuh juga. Begitu pula manusia sekelas penulis atau editor, ternyata masih ada saja titik kesalahannya. Entah disengaja atau tidak kesalahan itu selalu ada.

Apa sih manfaat mengoreksi tulisan sendiri?

Saya seringkali mengulang membaca hingga puluhan kali. Mengeditnya yang juga tidak hanya sekali. Memperbaiki kata-kata yang keliru dan penempatan tanda baca yang kadang kurang pas. Dan ternyata, meskipun sudah saya baca dan edit, eh ternyata masih ada saja yang keliru. Apa memang karena faktor U yang disebabkan mata tidak lagi fokus, atau memang kemampuan bahasa saya memang masih kurang? Iya kayaknya, ya?Hehe

Beruntungnya ketika tulisan sudah ditayangkan, ternyata oleh admin ada yang diperbaiki. Dalam batin saya alhamdulillah admin masih mau mengedit meskipun tidak seluruhnya. Tapi paling tidak memoles wajah tulisan agar semakin baik lagi.

Kembali apa sih manfaat mengoreksi tulisan sendiri? Karena bagi saya menulis itu adalah perjuangan, kadang begitu bersemangatnya, wajah tulisan tidak sesuai ekspektasi pembaca. 

Maka tidak heran banyak pembaca yang ngedumel "tulisan kayak gini dibilang bagus". Tidak hanya pembaca yang boleh jadi menaruh rasa kecewa karena sudah kadung membaca, karena penulis sendiri pastilah kecewa dan kadang malah berputus asa lantaran tulisannya tidak juga bagus. Rasa-rasanya menulis satu kalimat saja seperti memikul beban yang beratnya berton-ton.

Meskipun di antara penulis yang mampu menulis dengan jerih payah yang kadang tidak memuaskan, ternyata banyak pula penulis yang begitu lihai menelurkan tulisan dengan genre tertentu yang tulisannya begitu apik dan enak dibaca. Apakah mereka memang para pakar bahasa? Entahlah.

Selain memang untuk memperbaiki tulisan, tentu ingin melengkapi atau menggenapi hal-hal yang kurang lengkap. Boleh jadi ada kata-kata yang sebenarnya kurang pas ditempatkan dalam kalima tersebut, atau ada kata baru yang bisa memberi warna tulisan yang lainnya.

Memperbaiki kualitas tulisan memang perlu, namun memahami isi tulisan sendiri juga perlu.

Apa yang dilakukan agar orang bisa menulis? Tentu dengan memperbanyak referensi, baik bacaan, tontonan atau mendengar informasi yang penting sebagai bahan pokok dalam melahirkan tulisan tersebut. Namun ada juga informasi yang agak penting dan kurang penting yang ternyata menambah wawasan penulis sendiri.

Saya berharap apa yang sudah ditayangkan benar-benar memuaskan jiwa saya. Saya begitu menikmati menuliskannya dan membacanya sendiri sembari mencari hikmah dari apa yang sudah ditorehkan. Bahkan seringkali tulisan yang sudah ditayangkan menjadi pelajaran berharga, bahwa penulis itu bertanggung jawab secara moral dan material. 

Pertanggung jawaban secara moral bisa dilihat seberapa besar pengaruh tulisan itu pada sikap seseorang atau masyarakat. Apakah justru menjadi biang keladi kerusuhan atau tatanan masyarakat yang baik. Terkait tanggung jawab secara material, apakah tulisan tersebut bisa dipertanggung jawabkan di muka hukum jika ternyata tulisan tersebut menyesatkan.

Ada sikap yang tidak hanya semau gue ketika menelurkan sebuah tulisan, karena ada tanggung jawab yang berat yang harus ditanggung akibat tulisan tersebut.

Seperti halnya tulisan pada umumnya, jika tulisan tersebut berbau hoax atau palsu,maka secara moral dan material jelas-jelas keliru. Belum lagi akibat yang timbulkan dari tulisan tadi, tentu lebih runyam dan parah.

Ada yang berpikir bodo amat siapa yang membaca, yang penting gue dapat duit. Gak peduli orang mau jadi apa. Namun tidak sedikit yang selalu berpesan, bahwa "semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca sekalian." Banyak yang berpikir demikian karena menganggap tidak ada yang salah dari tulisan yang dibagikan. Toh meskipun banyak yang tersesat jalan tidak jadi persoalan. Eksistensi dari perwujudan dari tanggung jawab sebagai makhluk sosial ternyata banyak yang berusaha melupakan, padahal perkara ini tidak boleh diabaikan.

Bukan hanya orang lain yang boleh jadi ingin mengambil pelajaran dari sana, karena penulis sendiri berusaha merenungi dari apa yang sudah menjadi gagasannya. Apakah gagasan itu positif atau justru negative. Jika penulis menganggap gagasannya adalah negative, biasanya ada edisi revisi yang tujuannya memperjelas focus tulisan, rujukan atau bahan bacaan, teori dari para pakar, dan ada pula yang sekedar memperbaiki tanda baca yang boleh jadi salah ketik.

Mengoreksi sembari belajar lagi

Ketika penulis bukanlah penulis yang profesional dan belum menggunakan jasa editor, maka mempelajari setiap kata, kalimat dan paragraph tulisan tentu membutuhkan rujukan yang tepat. Boleh juga sembari melihat kamus beberapa kata dan kalimat yang kurang tepat bisa diperbaiki.

Jika ada tambahan sumber lagi, bisa jadi dari sosok penulis yang lebih baik yang bisa menjadi bahan untuk mengoreksi kesalahan tulisan tadi.

Secara tidak langsung penulis akan terus mengasah kemampuannya dengan mempelajari banyak hal, dan sudah pasti akan memiliki tambahan pengetahuan yang awalnya belum dikuasainya.

Belajar tidak ada kata terlambat dan berhenti, bahkan sampai ajal menjemput pun manusia harus selalu belajar. Seperti pesan agama, menuntut ilmu itu wajib dari semenjak buaian (lahir) sampai ke liang lahat (meninggal). Sungguh pesan yang sangat mengena bagi siapa saja yang ingin terus menulis.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun