Bagi anak-anak yang sudah bisa mengutarakan perasaannya, seperti sedih, gembira, sakit, lelah, benci  dan lain sebagainya tentu amat mudah untuk mengatasi persoalannya.Â
Jika fisiknya tengah sakit, mereka langsung saja mengutarakan pada orang tuanya (khususnya ibu) "mah, kepalaku sakit." atau kepada ayahnya "yah, kakiku sakit karena keseleo". Namun faktanya anak-anak khusunya di bawah lima tahun masih banyak yang belum bisa mengutarakan masalahnya. Karena ketidak mampuan menyampaikan keluhannya itu timbulnya sakit sang anak semakin parah.Â
Mereka hanya bisa menangis tanpa bisa mengatakan sakit apa yang diderita. Yang dibutuhkan adalah kepekaan dan kepedulian untuk selalu mendengar keluhan anak termasuk bagaimana merespon tangisan anak untuk mengetahui gerangan apa yang terjadi dan dirasakan.
Jika memang rasa sakit yang diderita tentu orang tualah yang akan bisa merespon apa yang dirasakan anak dan segera mencarikan obatnya.Â
Sedangkan orang lain, baik asisten rumah tangga (baby sitter) dan kakek atau nenek sekalipun akan sangat berbeda dalam merespon keluhan anaknya.Â
Meskipun sang nenek atau kakek lebih berpengalaman dalam mengurus anak, namun terkait pemenuhan kebutuhan batin anak amat ditentukan oleh keberadaan orang tuanya. Meskipun dalam situasi tertentu, adapula orang tua kadang malah tidak begitu memahami kondisi anak-anaknya sedangkan sang nenek atau kakek malah lebih peka.Â
Beruntungnya anak-anak lebih suka tinggal dengan orang tuanya daripada dengan kakek atau neneknya. Semua memang tergantung  selera mereka.Â
Dan yang pasti, anak dan orang tua tidak akan putus hubungan kejiwaannya, sedangkan dengan orang lain tentu berbeda konsekuensinya.
Memahami tangisan anak dengan memahami kebiasaannya
Memang ada yang beranggapan bahwa biarkan saja anak menangis, toh nanti akan berhenti sendiri, dan ada pula yang sebaliknya jangan biarkan anak menangis nanti timbulnya menjadi pribadi yang cengeng. Dan ternyata memang tangisan anak apalagi yang terlalu sering ternyata membentuk kepriabadian anak yang cengeng dan lemah.Â
Mereka tidak lagi fokus menikmati kebahagiaan bersama orang-orang terkasih, namun justru banyak terfokus pada penderitaan yang dialami.Â